Biasanya kalau ada makanan enak malas rasanya untuk membagikan. Enakan makan sendiri apalagi cuma tinggal satu. Cuma hari itu lagi sedikit waras. Lagi punya satu jeruk Sunkist yang dari aromanya sudah wangi. Tiba-tiba muncul ide. Saya belah jadi tiga. Setelah dibelah dapat satu ukuran yang paling kecil.
Setelah itu saya panggil dua mbak yang biasa membersihkan mess, tempat sehari-hari saya tinggal. Saya tanya,"Apa mau makan jeruk?"
"Maulah kalau dibagi." jawab salah satunya.
Lantas berkata,"Jeruk ini ada tiga potong. Kita satu orang satu. Nih, yang ukurannya bagus saya kasih kalian berdua. Satu lagi yang ukurannya kecil buat saya."
"Kenapa tuh, Pak?" salah satunya bertanya.
Sambil mengingat-ingat gaya Mario Teguh saya menjelaskan,"Kita kalau mau memberi sesuatu ke orang itu harus yang paling bagus. Buat kita sendiri sisanya." Super sekali, kan?
Jangan berpikir saya orang yamg baik dengan mendogkrin mereka seperti itu. Ada maksudnya. Apa tuh? Jelas, supaya nanti kalau mereka mau bawakan makanan buat saya akan dipilih yang paling bagus ha ha ha ...Bukankah barangsiapa yang menabur, maka ia akan menuai?
Kembali ke topik. Memberi yang paling bagus untuk orang lain. Teorinya memang begitu. Kata-katanya sederhana. Tetapi perlu ilmu yang tinggi untuk menerapkan. Yakni dengan ilmu ikhlas.
Kalau cuma ngomong ikhlas, itu meragukan. Malah menegaskan sebenarnya kurang ikhlas. Kalau sepenuhnya ikhlas buat apa ngomong-ngomong.
Kenyataan biasanya kita lebih suka memberikan sesuatu yang sudah kita tidak mau atau tidak suka lagi. Daripada dibuang ya lumayan dikasih ke yang mau. Masih niat baik sih. Siapa juga bisa melakukan.
Namun sebagai umat yang beragama dan ber-Tuhan tentu mesti memilikinya kualitas yang lebih tinggi sebagai pembeda. Apa kata dunia kalau tidak bisa?