Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengawal Pilkada dari Racun Demokrasi Politik Uang

27 Oktober 2020   15:18 Diperbarui: 27 Oktober 2020   15:48 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Bawaslu Sulsel

Itu tak lain merupakan balas dudi para kepala daerah kepada investor politik yang membantu memenangkannya. Dalam buku Investor Poilitik Pada Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang ditulis oleh Dr. Muhammad Hidayaturrahman menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Kompas, lebih dari 75 persen responden kandidat kepala daerah mengaku bahwa mereka akan mengabulkan harapan para investor politiknya apabila mereka terpilih. Jadi, tidak ada makan siang gratis itu memang benar adanya.

Dengan penyebutan yang berbeda, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut investor politik dengan sebutan "Dana Cukong". KPK menyebutkan bahwa 82% kandidat yang ikut dalam kontestasi pilkada 2018 mendapatkan support dana dari para cukong. 

Ini perlu diberi perhatian khusus pihak penegak hukum, apakah dana besar besar tersebut yang mengalir pada para kandidat berasal dari sumber yang sah atau tidak. Pengawasan ketat terhadap dana kandidat tersebut harus transparan.

Mengalirnya dana besar dari para investor politik kepada para kandidat pilkada tidaklah mengejutkan. 

Dikarenakan ongkos politik yang harus dikeluarkan memang selangit yang memang merupakan sumber permasalahannya. Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan bahwa untuk menjadi bupati diperlukan dana sebesar Rp 30 miliar dan untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar. 

Dengan angka nominal yang sedikit berbeda, lembaga peneliti dari Leiden, Belanda KITLV Ward Berenschot (2019) melakukan survey pada 500 tokoh politik di Indonesia. untuk menjadi bupati diperlukan dana sebesar Rp 28 miliar dan untuk menjadi gubernur bisa mencapai Rp 166 miliar. Sedangkan kemampuan yang dimiliki oleh kandidat tidak bisa mengimbanginya.

Data laporan harta kekayaan penyelengara negara menyebutkan bahwa rata-rata kandidat hanya memiliki kekayaan Rp 6,7 miliar. 

Tentu dengan jumlah tersebut tidak mampu membiaya proses politik kandidat kalau tidak dibiayai oleh para sponsor atau investor politik tadi. 

Dana terbesar yang harus dikeluarkan oleh para kandidat adalah membeli dukungan partai yang lazim disebut sebagai mahar politik. Biaya lainnya yang cukup besar adalah biaya kampanye, sosialisasi, survey, serangan fajar, bagi-bagi bantuan hingga biaya proses sengkata hasil pemilihan umum.

Berdasarkan hasil riset Bawaslu pada 2018, para investor politik berada di balik aksi borong partai untuk mendukung calon tunggal. Dari 2015 sampai 2020, kandidat yang didanai oleh investor politik ini terus meningkat dari 70% menjadi 82%. Melihat peningkatan tersebut berbanding lurus dengan naiknya angka calon tunggal dari yang hanya 3 paslon tunggal pada pilkada 2015 menjadi 25 paslon tunggal pada pilkada 2020.

Maka jangan heran nantinya akan banyak kepala daerah dipanggil oleh KPK. Balas jasa kepada para investor politik setelah memenangi kontestasi pilkada akan menyebabkan para kepala daerah tergelincir dalam jurang gelap korupsi dan berada dibalik jeruji besi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun