Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bukan Sekadar Demokrasi Kerumunan

4 Oktober 2020   20:43 Diperbarui: 4 Oktober 2020   20:57 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu Paslon berkampanye dengan melanggar protokol kesehatan tidak menjaga jarak - Foto: Istimewa

Dimulai dari upaya revisi PKPU No.4/2020 sebagai aturan induk perihal kampanye Pilkada. Gerak cepat semacam ini bermula dari munculnya saran dari berbagai pihak yang salah satunya menyoal konser musik.

Bentuk sanksi adminstratif dapat berupa teguran tertulis, atau memutuskan penghentian kegiatan kampanye dengan didukung dengan rekomendasi dari Bawaslu. 

KPU pun berencana bakal mengurangi jadwal kampanye paslon yang terbukti melanggar dengan tidak mengurangi hak-hak merayakan demokrasi bagi siapa pun.

Tahapan pengambilan nomor urut paslon pada 23 -- 24 September 2020 akan menjadi dasar kuat pembatasan kerumunan diterapkan. Artinya regulasi diperbaiki tidak semata berdasarkan asumsi sempit tetapi fakta di lapangan.

Diperkirakan, longgarnya pengawasan pada momentum tersebut kemungkinan akan memicu kerumunan massa. Maka dibutuhkan kesadaran dan kerjasama pihak terkait, termasuk parpol untuk disiplin secara bersama-sama dalam menerapkan protokol kesehatan.

Sehingga langkah antisipasi perlu dipersiapkan agar arak-arakan saat pendaftaran paslon Pilkada lalu tak terulang. Sesungguhnya Bawaslu punya otoritas membubarkan dan menindak kontestan yang melanggar batasan-batasan pedoman penanggulangan korona.

Selain itu, sebagai bangsa kita perlu terus merawat demokrasi agar tetap sehat. Kontestasi yang kompetitif merupakan salah satu syarat demokrasi berjalan baik. Terlebih fenomena calon tunggal versus kota kosong akhir-akhir ini jadi diskursus yang menarik.

KPU mencatat terdapat 25 kabupaten/kota yang hanya memiliki calon tunggal. Angka ini memang kecil dibandingkan 270 daerah (provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) yang menyelenggarakan Pilkada pada tahun ini. Tapi jumlahnya naik dibandingkan Pilkada 2015 (3 daerah) yang punya paslon tunggal. Selanjutnya naik pada 2017 sebanyak 9 kandidat, kemudian 16 paslon pada 2018.

Meskipun calon tunggal bukan sesuatu yang melanggar hukum karena mengacu UU No.10/2016 tentang Pilkada.  

Sebagaimana diketahui, dalam regulasi ini kandidat kepala daerah diwajibkan mendapatkan dukungan dari 20 persen kursi DPRD. Konsekuensinya, antar parpol harus berkoalisi jika hendak mengusung kandidatnya.

Di lain sisi, persyaratan calon perseorangan agak terlampau berat. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi  (MK) pada September 2015 lalu, mengharuskan terkumpulnya KTP mencapai 10 persen di daerah atau DPT sebanyak 2 juta orang, 8,5 persen dengan DPT hingga 6 juta, 7,5 persen atau DPT -- 6 juta hingga 12 juta dan 6,5 persen dengan DPT melebih 12 juta orang. Syarat ini tentu sangat sulit terealisasi (lihat Media Indonesia, 16/9/2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun