Mohon tunggu...
Katalis Institute
Katalis Institute Mohon Tunggu... Goresan pena lebih tajam dari pisau belati

Belajar membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tanah Kas Desa: Bom Waktu Konflik Agraria di Pedesaan

6 September 2025   20:43 Diperbarui: 6 September 2025   20:43 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TKD juga rentan menjadi "bancakan politik," yaitu sumber dana informal untuk membiayai kontestasi politik di tingkat lokal. Meskipun biaya Pilkades seharusnya diatur oleh pemerintah kabupaten , realitasnya menunjukkan bahwa TKD seringkali digunakan sebagai "uang di bawah meja" untuk membiayai kampanye atau memuluskan kepentingan elite lokal. Jika TKD menjadi alat untuk memenangkan Pilkades, maka hasil dari pengelolaannya tidak akan pernah dinikmati oleh masyarakat. Sebaliknya, pendapatan dari TKD akan dialirkan kembali untuk mengembalikan "modal politik" para elite , memperkuat oligarki desa, dan menciptakan siklus korupsi yang tak berujung.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang seharusnya menjadi "mata dan telinga" masyarakat dalam mengawasi kinerja kepala desa. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering tidak berjalan optimal. Terdapat beberapa kendala struktural yang melemahkan BPD, di antaranya adalah rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM). Anggota BPD seringkali tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai tata kelola keuangan dan aset desa, yang membuat pengawasan mereka tidak efektif.

Selain itu, BPD seringkali terjebak dalam pusaran politik desa yang kompleks. Hubungan kekeluargaan atau "rasa kekeluargaan" yang terlalu dekat antara BPD dan perangkat desa membuat pengawasan menjadi tidak objektif dan berat sebelah. BPD memiliki mandat hukum untuk mengawasi, tetapi secara struktural dan operasional mereka tidak diberi daya untuk melakukannya, sehingga mereka menjadi "macan ompong". Lemahnya BPD ini menyebabkan mereka tidak mampu menindaklanjuti penyimpangan yang terjadi, yang pada akhirnya meniadakan fungsi kontrol internal di tingkat desa.

Di tingkat kabupaten, Inspektorat memiliki peran strategis sebagai Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) untuk membina dan mengawasi pengelolaan keuangan desa. Namun, wewenang mereka seringkali terbatas. Inspektorat kerap hanya memberikan rekomendasi perbaikan tanpa mampu memberikan sanksi yang tegas. Akibatnya, sistem akuntabilitas tanpa konsekuensi tercipta. Para perangkat desa yang nakal tidak merasa terancam, karena mereka tahu bahwa sanksi yang paling berat sekalipun hanya berupa rekomendasi, bukan tindakan hukum yang mengikat.

Ini adalah titik lemah sistemik di tingkat kabupaten yang memungkinkan korupsi di desa merajalela. Inspektorat tidak memiliki "gigi" untuk memaksa perubahan, yang secara efektif memberikan 'lampu hijau' bagi para pelaku untuk melanjutkan praktik mereka, karena mereka tahu risikonya minimal.

Langkah pertama dan paling fundamental untuk mengatasi masalah TKD adalah melakukan inventarisasi dan sertifikasi ulang secara menyeluruh. Program seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang digalakkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah kunci untuk memberikan kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum melalui sertifikasi yang jelas, sulit untuk menentukan luas, batas, dan status kepemilikan TKD. Dengan demikian, upaya audit, transparansi, dan pencegahan alih fungsi ilegal menjadi tidak mungkin. Sertifikasi bukan sekadar prosedur administratif, tetapi fondasi bagi setiap perbaikan tata kelola di tingkat desa.

Transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan. Kontrak sewa TKD harus diumumkan secara transparan kepada publik. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui tujuan, sasaran, dan hasil pengelolaan aset desa. Di samping itu, penting untuk melibatkan lembaga pengawas eksternal. Di satu sisi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki wewenang untuk mengaudit dana desa yang berasal dari APBN. Namun, wewenang mereka terhadap pengelolaan TKD yang merupakan PADes masih seringkali tidak spesifik, menciptakan "ruang kosong" pengawasan. Ruang ini harus diisi oleh auditor independen, termasuk dari lembaga nonpemerintah, yang berfokus pada aset desa.

Mengalihkan pengelolaan TKD ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) memiliki potensi besar untuk meningkatkan akuntabilitas dan profesionalisme. BUMDes dapat menjadi entitas yang lebih fokus pada optimalisasi aset untuk menghasilkan keuntungan bagi desa. Namun, ini bukanlah jaminan keberhasilan. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di BUMDes, seperti di Desa Trosobo, Sidoarjo dan BUMDes Berjo, Karanganyar , menunjukkan bahwa BUMDes sendiri dapat menjadi wadah baru untuk korupsi jika tidak dibarengi dengan tata kelola yang baik, SDM yang kompeten, dan pengawasan internal yang kuat. BUMDes hanyalah mekanisme; keberhasilannya sangat bergantung pada integritas dan kompetensi para pengelolanya

Tanah Kas Desa bukan sekadar sebidang tanah; ia adalah jiwa dari kemandirian desa, pilar ekonomi, dan warisan untuk generasi mendatang. Namun, keberadaannya kini di ambang kehancuran, terperangkap dalam pusaran korupsi dan penyalahgunaan yang terstruktur. Mengembalikan kedaulatan TKD ke tangan rakyat bukanlah tugas yang mudah. Ia membutuhkan tindakan yang holistik, dimulai dari fondasi paling dasar seperti sertifikasi ulang, hingga langkah-langkah strategis seperti transparansi, audit independen, dan pengalihan pengelolaan ke entitas yang lebih profesional. Yang terpenting, ini membutuhkan kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun