Oleh: Aziz Muslim HarunaÂ
Desa, sebagai unit pemerintahan terkecil, memegang peran sentral dalam pembangunan nasional. Ia adalah cerminan dari kemandirian dan kesejahteraan masyarakat yang sejati. Namun, di balik potensi yang melimpah, terbentang pula tantangan besar, salah satunya adalah pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD). Kekayaan desa yang seharusnya menjadi pilar ekonomi untuk menopang kemandirian, sering kali justru menjadi sumber konflik dan praktik korupsi. Paradoks ini menciptakan krisis tata kelola yang sistemik, di mana TKD, alih-alih melayani kepentingan publik, justru disalahgunakan oleh segelintir elite lokal. Fenomena ini bukan lagi anomali, melainkan gejala dari masalah yang lebih dalam.
Secara harfiah, TKD adalah barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa. Ini merupakan aset yang dimiliki secara mutlak oleh desa dan memiliki fungsi vital sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADes) serta untuk kepentingan sosial. Terdapat beragam jenis tanah yang dapat diklasifikasikan sebagai TKD, yang akarnya terentang jauh dalam sejarah tata kelola agraria desa. Dua jenis tanah yang paling sering menjadi perbincangan adalah tanah bengkok dan titisara.
Secara historis, tanah bengkok adalah tanah yang disediakan sebagai kompensasi atau penghasilan bagi Kuwu (Kepala Desa) dan Pamong Desa selama mereka menjabat. Sementara itu, tanah titisara adalah tanah yang hasilnya secara spesifik diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan. Perbedaan historis inilah yang menjadi pangkal masalah tata kelola TKD di era modern. Persepsi lama yang menganggap tanah bengkok sebagai hak pribadi atau tunjangan yang melekat pada jabatan perangkat desa masih sangat kuat. Mentalitas "hak" ini, yang bertentangan dengan amanat UU Desa, menciptakan konflik kepentingan dan menjadi pemicu utama praktik penyalahgunaan, seperti penyewaan ilegal atau alih fungsi tanpa persetujuan yang sah.
Untuk mengatasi konflik antara persepsi tradisional dan kebutuhan modern, pemerintah telah menerbitkan dasar hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan turunannya, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Beleid ini secara tegas mengatur bahwa hasil pengelolaan TKD harus dimasukkan ke dalam APBDes sebagai PADes, yang berarti TKD adalah aset publik, bukan milik pribadi perangkat desa.
Regulasi ini terus berkembang. Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 kemudian diubah dengan Permendagri Nomor 3 Tahun 2024. Perubahan ini sangat signifikan karena secara eksplisit mengatur prosedur tukar menukar (land exchange) tanah desa untuk proyek strategis nasional, kepentingan umum, atau bahkan kepentingan desa sendiri. Peraturan ini berupaya mempercepat proses tukar menukar TKD untuk proyek berskala besar. Namun, terdapat celah yang berpotensi disalahgunakan. Nilai penggantian yang "wajar" dan "menguntungkan desa" harus ditentukan oleh penilai independen. Jika proses ini tidak diawasi dengan ketat, manipulasi nilai penggantian dapat terjadi, yang membuka pintu bagi modus korupsi modern. Dengan demikian, regulasi yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan juga dapat menjadi sarana baru bagi penyelewengan jika tidak dibarengi dengan transparansi yang maksimal.
Tanah Kas Desa memiliki peran vital sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADes), yang memungkinkan desa membiayai pembangunan dan layanan dasar tanpa sepenuhnya bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan kronis pada Dana Desa (DD) yang berasal dari APBN dapat melumpuhkan inisiatif lokal dan kreativitas desa dalam mengelola sumber dayanya sendiri. PADes menjadi indikator utama kemandirian ekonomi suatu desa.
Namun, terdapat kesenjangan drastis antara potensi dan realitas. Data menunjukkan bahwa kontribusi PADes terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) masih sangat minimal, dengan rata-rata di bawah 10%. Ini adalah gambaran masif dari kegagalan tata kelola TKD. Kesenjangan ini menciptakan ketergantungan kronis, yang pada gilirannya mengurangi insentif bagi perangkat desa untuk mengoptimalkan aset mereka. Ketika dana dari pusat sudah mengalir, godaan untuk mengelola TKD secara transparan dan akuntabel menjadi pudar.
Kondisi ini sangat kontras dengan kisah sukses desa yang berhasil. Contohnya adalah Desa Pujon Kidul di Kabupaten Malang, yang berhasil menyulap aset desa menjadi Desa Wisata dengan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Melalui inovasi ini, PADes mereka melonjak drastis dari Rp30-40 juta menjadi lebih dari Rp1,3 miliar per tahun. Studi kasus ini membuktikan bahwa TKD dapat menjadi motor penggerak ekonomi yang kuat, asalkan dikelola dengan visi, akuntabilitas, dan komitmen yang benar-benar berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Modus penyalahgunaan TKD yang paling merugikan adalah alih fungsi dan penjualan ilegal, seperti yang terjadi di sokobanah, Sengketa tukar guling TKD di Dusun Batu Lenger, Desa Bira Tengah melibatkan Kades Martuli dan warga Haryani (ahli waris Mitoek Hadai). Pada 2017 Pengadilan Negeri Sampang memutus lahan seluas sekitar 2,8ha tersebut milik Haryani (ahli waris), dan dinyatakan bersertifikat atas namanya. Namun pada 2019 Kades Martuli dan Plt. Kades Mustofa diduga melakukan tukar-menukar tanah percaton (TKD) secara ilegal (menurut notaris dengan akta palsu), sehingga Martuli dilaporkan atas penyerobotan TKD. Martuli lalu menuntut balik Mustofa karena diduga membuat keterangan palsu dalam akta tukar guling tersebut. Pada Oktober 2019 Polres Sampang bersama BPPKAD memasang garis polisi di tanah sengketa (2.450m) sebagai langkah penyidikan. Hingga 2025 perkara ini masih dalam proses (penyidikan Polres dan perdata PN Sampang: Reg. No.2/Pdt.G/2025) tanpa vonis inkrah. Kerugian negara/desa berupa hilangnya pengelolaan TKD seluas 2,8ha; meskipun sampek sekarang belum ada angka kerugian keuangan yang diumumkan secara resmi namun ini menunjukkan betapa semarawutnya pengelolaan TKD yang ada di sampang.