Mohon tunggu...
Eko Dwi Purwanto
Eko Dwi Purwanto Mohon Tunggu... Wiraswasta

Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Etanol dalam BBM: Siapkah Infrastruktur dan Bahan Bakunya?

12 Oktober 2025   22:54 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:54 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Indonesia menargetkan penerapan bahan bakar campuran E10 yakni pencampuran 10% etanol ke dalam BBM mulai tahun 2026. Program ini diklaim sebagai bagian dari upaya transisi energi hijau dan pengurangan emisi karbon. Namun di balik ambisi tersebut, muncul pertanyaan besar: "Apakah infrastruktur dan bahan baku dalam negeri benar-benar siap?"

Dari Tebu ke Tangki BBM

Etanol di Indonesia umumnya dihasilkan melalui proses fermentasi dari tanaman bergula seperti tebu, atau berpati seperti singkong dan jagung. Salah satu pabrik bioetanol besar yang telah beroperasi adalah PT Energi Agro Nusantara (Enero) di Mojokerto, Jawa Timur. Pabrik ini mengolah molases (tetes tebu) menjadi bioetanol multigrade dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada November 2022 sebagai bagian dari program ketahanan energi nasional (Setkab.go.id, 2022).

Selain itu, di Lampung Tengah terdapat PT Indonesia Ethanol Industry dengan kapasitas sekitar 20.000 kiloliter per tahun, yang juga menjadi bagian penting dalam rantai pasok bioetanol nasional (CNBC Indonesia, 2024).

Namun, jika target E10 diterapkan secara nasional, kebutuhan etanol akan mencapai ratusan ribu kiloliter per tahun artinya kapasitas produksi saat ini masih jauh dari cukup.

Infrastruktur dan Risiko di SPBU

Tantangan berikutnya adalah kesiapan infrastruktur penyimpanan dan distribusi. Etanol bersifat higroskopis, mudah menyerap air. Karena itu, tangki penyimpanan di SPBU perlu dimodifikasi agar tidak terjadi pencampuran air yang bisa menurunkan kualitas bahan bakar dan memicu korosi pada mesin kendaraan.

Negara seperti Brasil dan Thailand, yang lebih dulu menerapkan E10, telah menyesuaikan sistem penyimpanan dan distribusinya untuk mengatasi masalah tersebut. Indonesia pun perlu menyiapkan standar teknis serupa agar program ini tidak terganggu secara operasional di lapangan.

Dari Ladang ke Produksi

Masalah bahan baku menjadi kunci. Studi Kajian Teknoekonomi Bioetanol Berbahan Molasses dari Universitas Sebelas Maret menyebut molases tebu sebagai bahan paling efisien karena kandungan gulanya siap difermentasi (Jurnal UNS, 2023).

Penelitian UIN Suska Riau juga menunjukkan bahwa substrat ampas tebu menghasilkan etanol lebih cepat dibanding batang jagung pada proses fermentasi hari ketiga (ejournal.uin-suska.ac.id). 

Sementara itu, kombinasi tongkol jagung dan ampas tebu juga memiliki potensi produksi bioetanol (jurnal.univpgri-palembang.ac.id).

Namun, hingga kini belum ada penelitian yang menegaskan varietas tebu atau jagung paling ideal untuk produksi etanol di Indonesia. Varietas unggul dengan rendemen gula tinggi dan produktivitas stabil masih harus dikembangkan, di mana Balitbang Pertanian dan PTPN berpotensi memainkan peran besar.

Jangan Sampai Impor Etanol Jadi Jalan Pintas

Kemandirian bahan baku menjadi titik krusial. Jika kebutuhan meningkat tetapi pasokan lokal belum mencukupi, ada risiko pemerintah mengimpor etanol dari luar negeri. Hal ini justru akan bertolak belakang dengan tujuan program E10 untuk mengurangi ketergantungan impor energi fosil.

Menurut pengamat energi yang dikutip CNBC Indonesia (2024), transisi energi hijau akan kehilangan makna jika Indonesia tak mampu memenuhi pasokan etanol dari dalam negeri sendiri.

Antara Energi Hijau dan Ketahanan Pangan

Permintaan bahan baku etanol yang tinggi juga bisa bersinggungan dengan kebutuhan pangan nasional. Jika perluasan lahan tidak dikelola hati-hati, produksi energi berbasis bioetanol bisa menekan produksi pangan. Karena itu, kebijakan energi perlu berjalan seimbang dengan kebijakan pertanian dan ketahanan pangan.

Iklim tropis Indonesia sebenarnya memberi peluang besar. Namun keberhasilan program E10 sangat bergantung pada sinkronisasi kebijakan lintas sektor mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, hingga BUMN energi dan perkebunan. Jika dilihat program E10 ini di atas kertas sangat menjanjikan yaitu lebih ramah lingkungan, mengurangi emisi, dan membuka peluang kerja baru di sektor pertanian. Tapi semua itu hanya akan terwujud jika fondasi teknis dan logistiknya siap, dari ladang bahan baku, pabrik etanol, hingga tangki di SPBU.

Jika tidak, maka risiko ketergantungan baru pada impor etanol bisa menjadi kenyataan sesuatu yang jelas tidak diharapkan dalam perjalanan menuju kemandirian energi nasional.

Bagaimana pendapatmu soal kebijakan E10 ini? Apakah menurutmu Indonesia benar-benar siap, atau masih perlu banyak pembenahan di lapangan? Yuk diskusikan di kolom komentar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun