Latar BelakangÂ
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan 2023) menetapkan telemedicine sebagai salah satu bentuk resmi penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang diakui secara hukum di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 172. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai strategi untuk menjawab tantangan pemerataan akses pelayanan kesehatan, khususnya dalam konteks geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Telemedicine dipandang mampu memperpendek jarak antara pasien dan tenaga kesehatan, serta memperluas jangkauan layanan tanpa harus memindahkan sumber daya manusia secara fisik ke daerah yang sulit dijangkau.Â
Meski demikian, proses pembentukan UU ini tergolong cepat dan bersifat omnibus, yang berarti menggabungkan banyak aturan ke dalam satu undang-undang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan mengenai kurangnya ruang partisipasi publik yang bermakna serta potensi ketidakmatangan substansi teknis pada beberapa pasal, termasuk pasal-pasal yang mengatur layanan kesehatan digital.Â
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri menekankan bahwa implementasi telemedicine yang efektif tidak hanya membutuhkan dukungan regulasi, tetapi juga harus dibarengi dengan penetapan standar operasional prosedur, sistem tata kelola mutu yang ketat, perlindungan data dan privasi pasien, serta investasi jangka panjang dalam infrastruktur teknologi informasi. Implementasi tanpa panduan teknis yang memadai berisiko menciptakan variasi mutu layanan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan digital.
Dalam konteks Indonesia, meskipun UU Kesehatan 2023 telah menetapkan kerangka hukum dasar dan beberapa peraturan pelaksananya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya berbagai hambatan dalam implementasi telemedicine. Beberapa kajian menunjukkan bahwa terdapat ambiguitas dalam penafsiran aturan teknis, belum terdefinisikannya pembagian tanggung jawab hukum antara tenaga medis dan penyedia platform, serta belum terintegrasinya sistem telemedicine dengan infrastruktur data kesehatan nasional.--Â
Lebih lanjut, masih terdapat kesenjangan digital yang signifikan, baik dari sisi ketersediaan jaringan internet di wilayah rural, maupun dari aspek literasi digital tenaga kesehatan dan pasien. Kesenjangan ini berpotensi memperbesar ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan, alih-alih menjadi solusi untuk pemerataan. Oleh karena itu, kajian terhadap akar masalah (root cause analysis) dan penyusunan rekomendasi kebijakan berbasis bukti sangat penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan telemedicine di Indonesia benar-benar aman, efektif, akuntabel, dan inklusif.
Permasalahan UtamaÂ
1. Ambiguitas Norma TeknisÂ
Salah satu persoalan utama dalam implementasi telemedicine di Indonesia adalah belum adanya standar teknis yang jelas dan terperinci. Hingga saat ini, belum tersedia panduan resmi yang mengatur secara spesifik bagaimana data medis pasien yang dikirim secara daring harus dienkripsi (diamankan secara digital), bagaimana data tersebut disimpan secara aman dan etis, serta bagaimana validitas algoritma kecerdasan buatan yang digunakan dalam proses diagnosis atau pengambilan keputusan medis dapat dijamin. Tanpa kejelasan ini, risiko penyalahgunaan data dan ketidakkonsistenan mutu pelayanan akan terus menjadi ancaman serius bagi pasien maupun tenaga medis.Â
2. Ketidakjelasan Pertanggungjawaban Hukum (Liability)Â