Mohon tunggu...
Kasimirus Dhoy
Kasimirus Dhoy Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara Kabupaten Nagekeo

Pelayan Publik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hobbit Flores, Bahasa, dan Fiksi Kolektif: Kisah Menarik Dominasi Homo Sapiens

6 Agustus 2025   17:53 Diperbarui: 16 Agustus 2025   01:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IGambar rekonstruksi Homo Floresiensis dan Ekosistemnya. (Sumber: AI Image Generator)

Pulau Flores, dengan lanskap vulkaniknya yang menawan, terus menjadi episentrum penemuan-penemuan arkeologis yang mengubah pemahaman kita tentang sejarah manusia purba. Sejak penemuan fosil manusia purba pertama kali di Situs Mata Menge pada tahun 2014, eksplorasi terhadap sejarah kehidupan di pulau ini terus menghasilkan temuan-temuan yang signifikan, menggeser paradigma lama tentang migrasi dan evolusi hominin di Asia Tenggara.

Perhatian dunia ilmiah kini kembali tertuju pada Cekungan So'a, sebuah kawasan purba yang kaya akan tinggalan arkeologis, terletak strategis di antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo "The Heart of Flores", Provinsi Nusa Tenggara Timur. Cekungan So'a, yang membentang sekitar 35×25 km, merupakan sebuah "laboratorium alam" raksasa yang memperlihatkan bentang alam terbuka, mengingatkan kita pada lingkungan umum kehidupan Homo erectus di berbagai situs di Indonesia maupun Afrika.

Sejak tahun 2010, Pusat Survei Geologi Indonesia bersama University of Wollongong Australia telah menjalankan program ekskavasi intensif di kawasan ini dengan tujuan utama mencari bukti-bukti kehidupan purba yang lebih lengkap. Pada tahun 2024 ini, fokus ekskavasi diarahkan pada dua situs kunci: Situs Kobatuwa dan Situs Malahuma. Kolaborasi erat dengan ahli arkeologi dan paleontologi terkemuka dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Institut Teknologi Bandung (ITB), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, serta University of Bergen Norwegia, semakin memperkaya perspektif dan kedalaman penelitian tentang masa lalu manusia di wilayah kepulauan ini.

Situs Kobatuwa, yang berlokasi di bagian barat Cekungan So'a, telah menjadi saksi bisu keberadaan kehidupan purba yang dinamis. Ekskavasi di sini berhasil mengungkapkan beragam fosil vertebrata, termasuk megafauna seperti gajah purba (Stegodon sp.), buaya, dan tikus raksasa. Lebih dari itu, penemuan artefak-artefak alat batu Paleolitik yang berasosiasi dengan fosil-fosil tulang ini mengindikasikan bahwa manusia purba telah aktif beraktivitas di wilayah ini. Berdasarkan hasil penanggalan, jejak aktivitas mereka diperkirakan berasal dari periode 1 juta hingga 700 ribu tahun yang lalu, sebuah rentang waktu yang krusial dalam sejarah migrasi Homo erectus ke timur. Sementara itu, di bagian timur cekungan, Situs Malahuma juga menjadi target ekskavasi utama, dengan harapan menemukan temuan yang sebanding, atau bahkan lebih mengejutkan, dengan penemuan di Kobatuwa, yang dapat memberikan gambaran lebih utuh tentang pola hunian dan adaptasi manusia purba di seluruh cekungan.

Penemuan di Mata Menge, Cekungan So'a, pada tahun 2014, adalah sebuah terobosan. Fragmen tulang humerus dewasa terkecil, gigi, dan rahang yang ditemukan di sana, diperkirakan berusia 700.000 tahun, mengindikasikan keberadaan hominin yang sangat kecil, dengan tinggi sekitar 103-108 cm—bahkan lebih pendek dari Homo floresiensis Liang Bua. Hipotesis yang kuat adalah bahwa nenek moyang Homo floresiensis adalah Homo erectus Jawa berbadan besar yang mengalami fenomena insular dwarfism (kekerdilan pulau) selama sekitar 300.000 tahun. Ini adalah bukti menakjubkan tentang adaptasi ekstrem dan isolasi geografis. Lebih dari itu, keberadaan mereka di Flores menegaskan kemampuan penyeberangan laut, sebuah pencapaian kognitif dan teknologis yang luar biasa untuk hominin di era tersebut. Mereka bukan hanya bertahan hidup; mereka menaklukkan batasan geografis.

Kemudian, pada tahun 2003, di Gua Liang Bua, kerangka parsial Homo floresiensis yang dijuluki "hobbit" ditemukan, menggemparkan dunia ilmiah. Dengan perkiraan hidup antara 60.000 hingga 100.000 tahun yang lalu, mereka memiliki tinggi sekitar 106 cm dan ukuran otak yang sangat kecil, hanya sekitar 400 cc—seukuran simpanse. Namun, jangan salah, mereka adalah pemburu yang tangguh, pembuat alat batu yang terampil, dan mampu bertahan di lingkungan keras yang dihuni fauna berbahaya seperti buaya raksasa dan komodo. Potensi koeksistensi mereka dengan Homo sapiens di Flores, diperkuat oleh relevansi mitologi "Ebu Gogo" yang menggambarkan makhluk kecil mirip manusia, kini menjadi fokus penyelidikan DNA yang intens.

Cekungan So'a tidak hanya kaya akan sisa-sisa kehidupan purba, tetapi juga menawarkan lanskap geologi yang sangat beragam dan kompleks. Kawasan ini didominasi oleh endapan piroklastik dari letusan gunung api purba, aliran lahar, serta endapan sungai dan danau yang terbentuk seiring waktu. Keunikan geologi ini memungkinkan pelestarian fosil dan artefak dalam lapisan-lapisan tanah yang berbeda, menjadikannya arsip alami yang tak ternilai. Temuan fosil purba manusia yang berumur 700 ribu tahun di Situs Mata Menge, yang merupakan bagian dari Cekungan So'a, secara jelas menunjukkan potensi besar kawasan ini sebagai situs warisan geologi yang berperingkat nasional bahkan internasional.

Melihat kekayaan dan signifikansi ilmiahnya, Cekungan So'a memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Ke depannya, diharapkan kawasan ini dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang berfungsi sebagai laboratorium alam terbuka untuk kegiatan pendidikan dan penelitian yang berkelanjutan. Rencana untuk membangun sebuah museum situs di sini akan sangat mendukung upaya pendidikan dan edukasi wisata bagi masyarakat lokal maupun internasional, memungkinkan pengunjung untuk memahami secara langsung jejak-jejak peradaban purba. Selain itu, pengembangan jalur trekking untuk geowisata juga menjadi salah satu langkah penting untuk mempromosikan kekayaan ilmiah dan sejarah alam di wilayah ini. Dengan demikian, Cekungan So'a tidak hanya akan menjadi pusat penelitian arkeologi dan paleontologi, tetapi juga destinasi yang menarik bagi para pencinta sejarah, alam, dan ilmu pengetahuan, yang ingin menyelami kisah luar biasa kehidupan purba di Flores.

II. Keunggulan Homo Sapiens: Simfoni Bahasa dan Arsitektur Fiksi Kolektif

Lalu, apa rahasia di balik dominasi Homo sapiens? Mengapa kita, dengan fisik yang mungkin tidak sekuat Neanderthal atau setangguh "hobbit" Flores dalam adaptasi lokal, mampu menyebar dan menguasai setiap relung ekologis di planet ini? Jawabannya terletak pada konvergensi kecerdasan kognitif yang luar biasa dan kemampuan bahasa yang kompleks, yang pada gilirannya melahirkan kekuatan paling transformatif: "fiksi kolektif."

Perdebatan tentang peran bahasa dalam evolusi manusia adalah jantung dari pemahaman ini. Di satu sisi, ada Noam Chomsky, linguis legendaris, yang dengan teorinya tentang "Tata Bahasa Universal," berargumen bahwa kemampuan bahasa manusia bukanlah sekadar hasil belajar atau imitasi, melainkan sebuah anugerah bawaan genetik, sebuah cetak biru kognitif yang tertanam dalam diri kita. Ia menyoroti konsep rekursi—kemampuan untuk menyisipkan satu ide ke dalam ide lain tanpa batas, seperti dalam kalimat yang rumit: "Pria [yang mencuri mobil [yang diparkir di dekat bank]] itu melarikan diri." Chomsky meyakini bahwa struktur rekursif ini adalah ciri unik bahasa manusia yang membuka gerbang bagi kompleksitas berpikir tak terbatas, fondasi kognitif yang membedakan kita dari spesies lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun