Di sisi lain, Daniel Everett, seorang antropolog linguistik yang kontroversial, menawarkan perspektif yang lebih pragmatis. Ia berpandangan bahwa bahasa adalah alat budaya yang berevolusi secara bertahap, bukan ledakan genetik mendadak. Everett berargumen bahwa bahasa muncul dari kebutuhan mendesak manusia untuk memecahkan masalah, berkoordinasi dalam berburu, dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Ia bahkan berspekulasi bahwa bentuk fungsional bahasa mungkin sudah ada pada Homo erectus. Bagi Everett, budaya adalah pendorong utama evolusi bahasa, bukan semata-mata biologi; bahasa adalah "penemuan" manusia yang sangat kuno, sebuah solusi adaptif. Sintesis dari kedua pandangan ini—bahasa sebagai kapasitas bawaan yang dibentuk oleh kebutuhan budaya—menyoroti kekuatan luar biasa bahasa sebagai alat kognitif dan sosial yang memungkinkan kita untuk mengartikulasikan pikiran, merencanakan strategi kompleks, dan berbagi informasi dengan presisi yang tak tertandingi.
Namun, kemampuan berbahasa saja tidak cukup untuk menjelaskan dominasi Homo sapiens. Di sinilah peran Yuval Noah Harari, dalam mahakaryanya Sapiens: A Brief History of Humankind, menjadi krusial. Ia memperkenalkan konsep "Revolusi Kognitif," sebuah lompatan evolusioner yang memungkinkan Homo sapiens untuk menciptakan dan percaya pada "fiksi kolektif." Ini adalah kemampuan unik untuk membayangkan dan berbagi realitas yang tidak ada secara fisik—mitos, agama, uang, negara, hukum, bahkan merek dagang. Kemampuan untuk mengikat jutaan individu yang tidak saling mengenal dalam narasi bersama inilah yang memungkinkan kerja sama fleksibel dalam skala massal, sebuah keunggulan yang tidak dapat ditandingi oleh hominin lain. Harari berpendapat bahwa fiksi kolektif ini adalah "lem" tak terlihat yang merekatkan masyarakat besar dan peradaban, memungkinkan pembangunan piramida, kekaisaran, dan bahkan internet. Bayangkan saja, tanpa fiksi kolektif seperti uang, bagaimana mungkin jutaan orang bekerja sama untuk membangun sebuah kota besar, padahal mereka tidak saling kenal dan mungkin tidak pernah bertemu? Fiksi kolektif itulah yang membuat kolaborasi besar-besaran ini menjadi mungkin.
Sejalan dengan Harari, sejarawan Rutger Bregman, dalam bukunya Humankind: A Hopeful History, mengemukakan bahwa sifat kooperatif manusia adalah keunggulan adaptif terbesar kita. Ia berargumen bahwa manusia pada dasarnya baik dan cenderung bekerja sama, sebuah sifat yang menjadi kunci keberhasilan spesies kita dalam menghadapi tantangan. Bahkan fisikawan terkemuka Stephen Hawking pernah merenungkan bahwa kecerdasan adalah penentu takdir spesies, baik biologis maupun buatan, menggarisbawahi bahwa kapasitas untuk berpikir, berinovasi, dan berkolaborasi adalah kunci kelangsungan hidup dan dominasi. Ini menguatkan gagasan bahwa bukan kekuatan fisik, melainkan kapasitas kognitif dan sosial yang membedakan Homo sapiens dan mengukir takdir kita.
III. Kearifan Lokal Flores: Manifestasi Nyata Kecerdasan Kognitif dalam Budaya
Kecerdasan kognitif Homo sapiens tidak hanya terwujud dalam kemampuan berbahasa dan menciptakan fiksi kolektif yang abstrak, tetapi juga dalam pembentukan sistem kearifan lokal yang mendalam, seperti yang ditemukan di Flores. Konsep-konsep ini adalah cerminan konkret bagaimana masyarakat purba mengatur kehidupan, berinteraksi dengan lingkungan, dan membangun identitas kolektif mereka. Dalam lensa Harari, kearifan lokal ini adalah contoh nyata bagaimana 'fiksi kolektif' diwujudkan dalam praktik dan keyakinan sehari-hari, membentuk realitas sosial dan budaya suatu komunitas, memberikan makna pada setiap aspek eksistensi.
Mari kita selami beberapa konsep kearifan lokal Flores yang kaya, yang menunjukkan betapa cerdasnya nenek moyang kita dalam membangun peradaban mereka:
Konsep Ulu-Eko: Berarti "kepala di timur atau hulu, ekor di barat atau hilir," adalah kosmologi hidup masyarakat Flores yang menunjukkan pemahaman mendalam tentang lingkungan dan alam semesta. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan P. Sareng Orin Bao dalam buku Nusa Nipa, melihat Pulau Flores sebagai entitas "yang hidup." Kepala di timur atau hulu melambangkan tempat matahari terbit atau tempat "mula-mula", awal kehidupan, kebijaksanaan, dan sumber energi. Ekor di barat atau hilir, tempat matahari terbenam, melambangkan akhir, transisi, dan tempat peristirahatan. Ini adalah contoh awal dari "fiksi kolektif" yang membentuk pandangan dunia, mengarahkan orientasi spasial dalam pembangunan desa, ritual, dan kehidupan sehari-hari berdasarkan pergerakan matahari, serta melihat pulau sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus dijaga bersama dengan penuh hormat. Bayangkan, seluruh pulau dianggap sebagai makhluk hidup yang harus dihormati!
Konsep Kisa Nata: Atau "jantung komunal," merujuk pada ruang persatuan dan interaksi sosial yang vital. Ini adalah pusat desa atau komunitas, seringkali berupa lapangan terbuka atau area khusus, tempat masyarakat berkumpul untuk berdiskusi, merayakan upacara adat, atau menyelesaikan konflik. Kisa Nata menunjukkan bagaimana Homo sapiens membangun struktur sosial yang kompleks melalui ruang bersama, memperkuat ikatan komunal, memfasilitasi pertukaran ide, dan menegaskan identitas kelompok. Ini adalah ruang di mana fiksi kolektif dihidupkan melalui interaksi langsung, tempat cerita-cerita dan nilai-nilai bersama diperkuat.
Konsep Peo dan Nabe: Adalah pilar sakral tata kelola dan keadilan yang menopang struktur sosial.
Peo adalah tiang kayu yang melambangkan kekuatan spiritual, persatuan, dan fungsi sosial kemasyarakatan. Seringkali menjadi pusat ritual penting, tempat musyawarah adat, dan simbol keberadaan leluhur. Peo adalah poros spiritual dan sosial yang menyatukan komunitas, menjadi titik fokus bagi kepercayaan dan aturan bersama.
Nabe adalah dolmen atau meja batu tempat persembahan. Ini adalah altar suci di mana masyarakat berinteraksi dengan kekuatan spiritual pemberi kehidupan, memohon berkah, atau menjaga keseimbangan alam dan sosial. Nabe adalah titik temu antara dunia fisik dan gaib, tempat fiksi kolektif tentang hubungan manusia dengan alam semesta diwujudkan. Kedua konsep ini menunjukkan bagaimana fiksi kolektif membentuk sistem hukum, etika, dan spiritualitas, memastikan ketertiban sosial dan resolusi konflik melalui intervensi ilahi atau leluhur.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!