Mohon tunggu...
Mahbub Karumbu
Mahbub Karumbu Mohon Tunggu... lainnya -

Saya senang membaca meski bukan kutu buku, senang menulis meski belum bisa bikin buku. Mulai menulis sejak jadi wartawan tahun 2003, sejak itu pula mulai jarang membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merawat Sejarah di Teluk Bima

19 Maret 2012   19:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:45 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERBUKITAN itu bukan sekadar satuan geomorfologi bergelombang dengan kemiringan lerang yang cukup curam. Bukan semata tempat bebatuan tua miosen sampai holosen bertemu dan saling menindih. Di bawahnya, pantai berpasir putih yang lembut dengan barisan nyiur yang tertata, tidak pula sebatas panorama yang memikat mata. Lebih dari itu, dari sanalah sejarah Bima mula-mula menyusun dirinya.

Di salah satu lereng Doro Lemba, barat laut Teluk Bima, terdapat situs Wadu Pa’a. Situs ini sangat unik karena termasuk situs candi tebing, terdiri dari relief-relief Siwa, Mahakala, Mahesamurti, Ganesha, bahkan Buddha, serta berbagai stupa dan lingga. Umurnya belum diketahui pasti, namun diperkirakan berasal dari abad 6-14 Masehi; suatu masa ketika agama Siwa dan Buddha menyublim dalam satu ruang peribadatan.

Wadu Pa’a mungkin dibuat oleh pelaut-pelaut asing. Lokasi ini memang cocok sebagai tempat singgah karena terlindung dari angin kencang dan ombak pasang. Di komplek Wadu Pa’a juga terdapat mata air tawar yang menjadi alasan lain bagi para pelaut untuk datang.

“Orang-orang Hindu, biasanya dari Bali, masih datang ke sini. Mereka sembahyang di sini,” kata Muhammad Hasan, juru kunci Komplek Wadu Pa’a. “Orang Islam juga kalau habis lebaran, liburannya ke sini. Ramai sekali.”

Muhammad Hasan adalah warga Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, yang menjadi tenaga honorer pada Dinas Pariwisata Kabupaten Bima. Tugasnya menjaga komplek Wadu Pa’a. Setiap hari ia menyapu dedaunan kering dan debu yang menempel pada relief. Tidak ada perlakuan khusus atau penggunaan teknologi modern untuk perawatan cagar budaya tersebut.

Bagaimana dengan kunjungan turis asing? “Ya, ada juga. Mereka pakai kapal, itu apa sih, paket pesiar dari Bali, kemudian singgah di sini, terus ke Pulau Komodo,” tutur Abdul Haris, Kepala Desa Kananta.

Jika sekarang kapal asing sangat jarang datang, beberapa abad lalu justru sebaliknya. Berbagai referensi sejarah—kronik Jawa kuno Nagarakrtagama, Pararaton, dan catatan Tome Pires—disebutkan bahwa sejak abad 10 atau 14, Bima adalah sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai. Bima juga menjadi tempat niaga yang menghubungkan Malaka, Cina, Jawa, dan Maluku. Komoditinya berupa asam, kemiri, bawang, kacang, kopi, padi, kapas, teripang, garam, kain tenun, dan sebagainya.

“Ini yang mau kita hidupkan kembali. Kami sedang merancang Teluk Bima untuk wisata bahari dan wisata sejarah,” kata Abdul Hafid, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia-NTB.

Jika proyek ini terealisasi, nantinya Teluk Bima dengan garis pantai membentang lebih dari 200 Km akan dipenuhi perahu-perahu layar kuno asli Nusantara. Wisatawan akan disuguhkan pemandangan teluk dari atas perahu. Mereka juga akan diantar mengunjungi dermaga-dermaga kuno dari abad belasan seperti Pelabuhan Bima, dermaga Lawata, dan dermaga Kalaki.

Sembari itu para turis bisa menikmati manisnya oi ta’a, atau saat angin dingin mina sarua, dan berbagai penganan khas. Yang hobi memancing bisa mendapat pengalaman unik mencoba menangkap ikan dengan alat tradisional bubu atau ladung. Atau, bagi yang suka tantangan, menginap saja bersama nelayan bagan di atas perahu yang bangunannya mirip rumah di tengah laut. Sesuatu yang tak mereka jumpai di tempat asalnya.

Tak hanya dari tengah laut, kawasan pesisir juga tak kalah menarik. Di sana bertebaran situs-situs kuno seperti Makam raja-raja di Doro Raja dan Tolobali, Wadu Tunti yang lebih muda dari situs Wadu Pa’a, komplek istana Asi, masjid tertua di Melayu, Benteng Asakota, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun