Ibu akhirnya mencoba ambil peran: menegur, membatasi, marah saat batas dilanggar. Tapi suara tegas itu malah kena kritik:
"Bisa nggak sih ngomong baik-baik? Rumah tuh butuh ketenangan."
Oh, jadi ketenangan rumah hanya berlaku kalau ibu diam? Kalau ibu yang diam saat anak menjerit minta HP, lalu siapa yang jadi remnya?
Ketika ibu bertindak, ia dianggap cerewet. Ketika diam, dianggap lalai. Ketika tegas, dianggap emosional. Ketika sabar, dibilang terlalu lembek.
Dan yang mengucapkan semua itu?
Sering kali orang yang bahkan tidak tahu jadwal anaknya.
Ini Bukan Soal Siapa Lebih Capek
Ini bukan perang "ibu lebih capek dari ayah" atau sebaliknya. Tapi tentang ketimpangan peran yang tidak disadari. Gadget bukan sekadar benda elektronik, tapi perangkat yang membentuk kebiasaan anak.
Dan ketika kebiasaan itu terbentuk, dibutuhkan dua orang tua untuk menjadi pagar. Bukan satu jadi pagar, satunya jadi komentator pinggir lapangan.
Efek dari Polisi yang Pasif
Ketika ayah memilih pasif, atau hanya muncul sebagai pemberi komentar:
- Anak belajar bahwa ibunya adalah "musuh" dan ayahnya "jalan aman"
- Disiplin rumah menjadi timpang dan membingungkan
- Ibu kelelahan emosional, merasa tidak didukung
- Anak tumbuh tanpa konsistensi, dan ini yang paling berbahaya
Anak yang tumbuh tanpa konsistensi akan belajar satu hal: aturan bisa dinego, asal tahu siapa yang bisa dimanipulasi.
Ayah, Rumah Bukan Cuma Butuh "Ketenangan", Tapi Keterlibatan