Pukul 06.30 pagi. Bagi sebagian orang, ini adalah waktu terbaik untuk memulai hari. Tapi kalau itu adalah waktu jam masuk sekolah? Bukan sekadar cuci muka dan langsung duduk manis di kelas.Â
Bayangkan saja proses di balik layar, anak-anak yang belum sepenuhnya sadar dari alam mimpi, orang tua yang harus jadi sprinter sejak subuh, dan guru-guru yang diam-diam berharap punya mesin kloning agar bisa mempersiapkan materi sambil bikin bekal anak-anak mereka sendiri.Â
Selamat datang di Jawa Barat tahun ajaran 2025/2026, di mana kebijakan baru menyatakan sekolah akan dimulai pukul 06.30. PR? Dihapus. Tapi kita mulai dari yang pertama dulu.
Kebijakan ini katanya demi Panca Waluya: cageur, bageur, bener, pinter, dan singer. Semua niat baik, tidak diragukan. Tapi seperti semua niat baik yang nggak dibarengi logika, jadinya absurd.Â
Apa kita lupa bahwa remaja (apalagi anak-anak) secara biologis memang punya ritme sirkadian yang lebih lambat? Mereka memang dirancang untuk begadang dan bangun agak siang. Ini bukan manja, ini neuroscience. American Academy of Sleep Medicine bahkan menyarankan remaja tidur 8--10 jam per malam. Tapi kalau jam 6.30 udah duduk di kelas, artinya jam berapa mereka harus bangun? 4.30? 5? Itu pun kalau rumahnya dekat.
Dan kalau kamu termasuk orang yang bilang, "Ah, dari dulu tidur nggak lebih dari 6 jam dan hidup saya baik-baik saja.", coba tanya diri sendiri lagi: Apakah benar hidupmu sebaik itu? Apakah benar kamu berkembang optimal? Atau kamu cuma terbiasa bertahan hidup dalam sistem yang nggak berpihak pada tubuhmu?
Bicara soal berpihak, mari tengok juga orang tua. Terutama ibu-ibu bekerja. Mereka sekarang harus bersiap lebih pagi, mengantar anak sebelum matahari terbit, dan tetap masuk kerja tepat waktu. Siapa yang memikirkan ini?
Belum lagi guru-guru. Mereka bukan cuma datang lebih pagi, tapi juga harus tetap perform seharian penuh. Mengajar itu bukan kerja robotik. Butuh fokus, energi, dan ya, istirahat cukup. Kalau guru burnout, muridnya juga nggak akan belajar maksimal.
Yang menarik, PR juga dihapus. Alasannya, agar anak bisa lebih banyak berinteraksi dengan keluarga di rumah. Konsepnya bagus, tapi praktiknya?Â
Tanpa pengawasan dan sistem yang mendukung, anak-anak justru bisa kehilangan kebiasaan belajar mandiri. PR yang berlebihan memang menyebalkan. Tapi PR yang dirancang dengan bijak bisa menjadi alat refleksi dan penguatan belajar. Jangan dibuang semua, hanya karena beberapa guru belum update cara ngasih tugas.