Beberapa waktu lalu, ada kisah viral tentang seorang mahasiswa yang stres karena tugas kuliah terlalu banyak. Bukannya mencari solusi, ia malah meminta dosennya lebih "pengertian" terhadap kesehatan mentalnya. Ada juga seorang fresh graduate yang menolak kerja lembur karena merasa itu merusak keseimbangan hidupnya, padahal dunia kerja memang menuntut lebih. Ini bukan sekadar fenomena individu---ini adalah gambaran generasi yang tumbuh dalam kenyamanan, tetapi rapuh saat menghadapi kesulitan.
Pertanyaannya, siapa yang salah?
Anak 'Lembek' Itu Hasil Didikan, Bukan Bakat Lahir
Mari kita jujur: tidak ada anak yang lahir kuat atau lemah. Semua tergantung pada bagaimana mereka dibesarkan. Jika sejak kecil anak tidak pernah menghadapi tantangan, selalu dilindungi dari kegagalan, dan setiap keluhannya langsung dipenuhi, maka jangan heran jika mereka tumbuh menjadi individu yang mudah menyerah.
Sebaliknya, anak yang pernah jatuh, pernah kecewa, dan diajarkan cara bangkit akan lebih siap menghadapi kerasnya kehidupan. Ini bukan berarti kita harus membiarkan anak menderita, tetapi mereka harus belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan.
Mengapa Mental Tangguh Itu Penting?
Dunia nyata tidak peduli seberapa spesial anak kita. Bos tidak akan menoleransi keterlambatan hanya karena anak kita "sedang tidak mood." Klien tidak akan sabar hanya karena anak kita "sedang overwhelmed." Kompetisi semakin ketat, dan hanya yang bertahan yang bisa sukses.
Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa resilience (ketangguhan mental) adalah faktor utama yang menentukan kesuksesan seseorang. Bukan kepintaran, bukan bakat, tetapi kemampuan untuk bangkit setelah jatuh.
Bagaimana Cara Membangun Ketangguhan Tanpa Menyakiti?
Lalu, bagaimana cara mengajarkan anak untuk tangguh tanpa membuat mereka merasa diabaikan?