Mohon tunggu...
Kartika I. Prativi
Kartika I. Prativi Mohon Tunggu... -

Hidup bukan untuk mencari, namun untuk mempertahankan apa yang kita punya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Matinya Sang Pencuci Cetak

5 Mei 2011   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat dunia telah bergantung pada teknologi yang canggih, sebagian orang masih mengais rezeki dari alat-alat sederhana yang mulai ditinggalkan orang, bahkan sudah diabaikan.

Suharningsih (47) beserta suami dan anaknya sehari-hari menunggu kios afdruk foto di Jl. Dr. Soepomo, Solo. Kios miliknya terletak persis di depan sebuah kafe steak yang tampak sepi. Sepanjang jalan itu cukup banyak kios yang menjual jasa serupa, namun hanya ada dua sampai tiga kios saja yang sering buka, apalagi pada hari Minggu atau hari libur.

Ketika hotel Novotel belum dibangun menggantikan pasar dan sekitarnya, para penjual jasa cetak foto bertempattinggal di perkampungan yang terletak di belakangnya. Kini mereka semua terpaksa pindah, maka banyak yang akhirnya meninggalkan kios-kios mereka karena jauh. Namun keluarga ini tetap berusaha menyambung hidup dengan setia menunggu pembeli setiap hari tanpa libur. “Kalau kami tutup, ya nggak makan”, tutur Suharningsih yang bersama keluarganya sekarang tinggal di Gedongan, Colomadu.

Mereka membuka kios pukul 5.30 sampai pukul 22.00, kadang sampai pukul 23.00. Meski rela menunggu dari pagi hingga malam, paling banyak cuma ada 5 pembeli yang datang per hari. Pernah ada 10 orang yang datang, itupun kalau kantor pengadilan negeri di belakang kiosnya sedang membuka lowongan pekerjaan. “Kemarin aja yang kesini nyetak foto ya cuma mbak”, ucap Ibu itu sambil tersenyum getir.

Suaminya, Pak Impun, merintis usaha ini sudah lebih dari 30 tahun. Dulu sewaktu kamera digital dan telepon seluler berkamera belum marak dipakai seperti sekarang, kios itu tak pernah sepi pengunjung. Tapi bukan berarti hidup mereka lebih enak dari sekarang. Hanya saja ketika itu mereka dapat membiayai sekolah anaknya, Rudi. Saat ini Rudi sudah lulus SMA dan membantu orang tuanya dengan membuka tambal ban disamping kios foto keluarganya karena ia tak memperoleh pekerjaan lain.

Untuk selembar foto berwarna ukuran 3R, ia mematok harga Rp 3.000,-. Namun jika mencetak foto ukuran 2x3, 3x4, dan 4x6 harganya Rp 6.000,-. Penghasilan mereka dalam sehari pun tak tentu dan masih harus dipakai membeli bahan-bahan cetak. Belum lagi kalau ada pembeli yang lupa mengambil pesanannya, foto itu terbuang percuma dan merugikan mereka.

Karena ingin membantu sang suami, Bu Impun – begitu ia kerap dipanggil, juga membuka kios kelontong tepat disebelah tambal ban anaknya. Ia membawa peralatan dapurnya kesitu agar dapat memasak untuk makan sekeluarga, sekaligus bila ada pembeli yang menginginkan mi instan siap saji. Malah pelanggannya yang sama-sama wong cilik seringkali ikut menikmati masakannya bila kebetulan masih.

Menjalani kehidupan yang amat sangat sederhana tidak membuat ibu ini mengeluh. Ia selalu menerima apa adanya dan bersyukur atas berapapun rezeki yang diperolehnya. Malahan ia sering menasehati teman-teman anaknya atau anak-anak muda yang datang kesitu untuk tidak menghambur-hamburkan uang milik orang tua. Tak pernah ia menyindir atau merasa resah bila mereka hanya datang dan main tanpa membeli barang dagangannya. Ia sadar betul, hidup ini seperti roda yang selalu berputar, kadang manusia ada di atas, kadang pula di bawah. Tapi untuk mencapai puncak pun tidak bisa dengan seketika, semua perlu usaha yang pelan namun pasti.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun