Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Saat HPP dan HET Jadi Benteng Terakhir Kedaulatan Pangan, Pengawasan Jangan Sampai Kendor!

15 Oktober 2025   12:36 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:36 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksinya jelas: menjaga petani berarti menjaga akar kedaulatan bangsa. Tanpa mereka, jargon swasembada pangan hanya menjadi retorika di panggung pidato.

Melindungi Konsumen, Mengawal Rasa Adil di Meja Makan

Sementara itu, HET berfungsi sebagai pagar bagi konsumen agar harga pangan tidak melambung liar di pasar. Dalam situasi ekonomi yang masih bergejolak, terutama setelah berbagai penyesuaian harga BBM dan tarif logistik, stabilitas harga pangan menjadi penentu rasa aman sosial masyarakat. Di titik inilah negara dituntut untuk hadir bukan sekadar sebagai regulator, tetapi juga pelindung.

Namun menjaga harga eceran tertinggi bukan perkara mudah. Jika pengawasan lemah, pedagang bisa memanfaatkan kelangkaan pasokan untuk menaikkan harga di atas batas wajar. Dampaknya bukan hanya pada daya beli, tapi juga pada ketimpangan sosial yang makin terasa di dapur-dapur rumah tangga kecil.

Melalui kebijakan HET, negara sejatinya sedang bernegosiasi dengan nurani: apakah keadilan ekonomi bisa dirasakan hingga meja makan rakyat kecil? Dalam hal ini, transparansi dan keterlibatan publik menjadi kunci pengawasan sosial yang efektif.

Rp150 Triliun: Angka Besar, Tanggung Jawab Lebih Besar

Subsidi pangan senilai Rp150 triliun tentu bukan angka kecil. Di balik nominal fantastis itu, tersimpan amanah besar: memastikan dana publik digunakan tepat sasaran dan tidak bocor di jalur distribusi. Sejarah menunjukkan, kebocoran subsidi kerap terjadi karena lemahnya sistem kontrol, data penerima yang tak akurat, dan budaya "asal lapor" di birokrasi.

Amran benar ketika menekankan bahwa pengawasan harus bersifat real time. Dalam era digital, data pangan seharusnya tidak lagi bersifat statis. Dengan integrasi sistem dari hulu hingga hilir, pengawasan bisa dilakukan secara terbuka---baik oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil.

Anggaran sebesar itu bisa menjadi penopang kedaulatan pangan, tetapi juga bisa berubah menjadi sumber korupsi terselubung jika transparansi diabaikan. Di sinilah integritas aparatur negara diuji.

Menuju Swasembada: Dari Slogan ke Gerakan Kolektif

Amran menyampaikan optimismenya bahwa Indonesia akan mencapai swasembada pangan dalam dua hingga tiga bulan ke depan. Keyakinan itu patut diapresiasi, namun perlu disertai evaluasi mendalam terhadap sistem pendukungnya. Swasembada bukan hanya tentang hasil panen, tetapi juga tentang efisiensi distribusi, teknologi pertanian, dan keberlanjutan sumber daya alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun