Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Batu Bicara di Gunung Padang, Kita Sedang Menyimak Jejak Peradaban

13 Oktober 2025   13:10 Diperbarui: 14 Oktober 2025   16:52 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim Touring SMAN 13 Bandung mengunjungi  situs Gunung Padang, Desa Karyamukti, Campaka, pada hari Jumat,  5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)

Ketika Batu Bicara di Gunung Padang, Kita Sedang Menyimak Jejak Peradaban

"Warisan budaya bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan cermin cara kita menghargai masa depan."

Oleh Karnita

Menyimak Pemugaran yang Menyapa Wisatawan

Apakah mungkin sejarah bisa berbicara langsung kepada kita, lewat bebatuan yang diam namun menyimpan ribuan makna? Pertanyaan itu terasa hidup ketika membaca berita Kompas.com pada Minggu, 12 Oktober 2025, berjudul “Proses Pemugaran Situs Gunung Padang Bisa Disaksikan Langsung Wisatawan” oleh Firman Taufiqurrahman dan Irfan Maullana. Di Cianjur, Jawa Barat, situs megalitikum ini tengah menjalani pemugaran hati-hati oleh tim Kementerian Kebudayaan RI.

Yang menarik, wisatawan tetap boleh menyaksikan prosesnya dari zona aman. Sebuah langkah berani dan edukatif yang jarang dilakukan dalam konteks pelestarian warisan budaya. Ini bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan proses belajar publik tentang cara menjaga masa lalu tanpa kehilangan semangat kekinian.

Alhamdulillah, Tim Touring SMAN 13 Bandung berkesempatan mengunjungi Situs Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, pada Jumat, 5 September 2025. Situs megalitikum ini berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, sekitar 20 kilometer dari persimpangan Warungkondang, di jalur antara Kota Cianjur dan Sukabumi. 

Penulis tertarik mengulasnya karena Gunung Padang bukan sekadar situs purbakala. Ia adalah simbol dialog panjang antara sains, budaya, dan spiritualitas bangsa. Dalam situasi di mana warisan kerap dikorbankan atas nama pembangunan, pemugaran yang transparan dan terbuka ini memberi pesan moral kuat: kita tidak hanya membangun, tapi juga sedang menata cara berpikir tentang asal-usul dan jati diri.

1. Pemugaran sebagai Ruang Edukasi Publik

Pemugaran Gunung Padang kini bukan hanya proyek arkeologi, melainkan juga panggung edukasi budaya. Dengan membuka sebagian zona bagi wisatawan, Kementerian Kebudayaan secara tidak langsung mengajak masyarakat menjadi saksi proses pelestarian. Ali Akbar, Ketua Tim Kajian dan Pemugaran, menegaskan bahwa setiap langkah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan hukum.

Langkah ini mengubah paradigma konservasi yang selama ini cenderung eksklusif dan tertutup. Masyarakat kini dapat melihat bahwa merawat situs purbakala bukan sekadar membenahi batu, tapi juga membangun kesadaran sejarah. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya instan, menyaksikan batu-batu disusun kembali bisa menjadi pengalaman kontemplatif tentang waktu dan ketekunan.

Dalam konteks pendidikan nasional, pendekatan ini layak dijadikan model pembelajaran lintas disiplin—arkeologi, lingkungan, dan nilai kebangsaan. Masyarakat yang terlibat atau sekadar menyaksikan akan memahami bahwa pelestarian bukan hanya tugas ahli, tetapi tanggung jawab kolektif.

2. Antara Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas

Pengunjung menaiki tangga Situs Megalitik Gunung Padang yang kini tengah dipugar tim Kementerian Kebudayaan RI. (KOMPAS.COM/FIRMAN T.)
Pengunjung menaiki tangga Situs Megalitik Gunung Padang yang kini tengah dipugar tim Kementerian Kebudayaan RI. (KOMPAS.COM/FIRMAN T.)

Gunung Padang sering disebut sebagai piramida tertua di dunia, dengan struktur yang konon lebih tua dari peradaban Mesir Kuno. Klaim ini masih menjadi perdebatan ilmiah, namun daya tariknya tak terbantahkan. Di balik batu-batu berundak itu tersimpan lapisan makna yang melampaui batas logika: spiritualitas, ritual, dan simbol kebersamaan manusia prasejarah.

Pemugaran yang sedang berlangsung sebenarnya juga adalah proses rekonsiliasi antara sains dan kepercayaan. Tim arkeolog meneliti tekstur batu, komposisi tanah, hingga rekonstruksi bentuk, sementara masyarakat adat menjaga nilai-nilai sakral situs itu. Keduanya berjalan beriringan, saling menghormati ruang ilmu dan ruang keyakinan.

Jika ditarik ke konteks nasional, keseimbangan seperti ini adalah cerminan ideal pembangunan kebudayaan Indonesia. Kita membutuhkan ilmu untuk membangun, tapi juga nilai untuk menuntun arah pembangunan itu. Gunung Padang, dalam diamnya, mengajarkan harmoni antara logika dan nurani.

3. Risiko Alam dan Tantangan Konservasi

Pemugaran di area dengan kontur curam tentu tidak mudah. Lereng bukit Gunung Padang yang tinggi berpotensi longsor jika tidak diperkuat dengan cermat. Karena itu, salah satu fokus utama tim pemugaran adalah penguatan struktur alami bukit sebelum melanjutkan rekonstruksi. Ali Akbar menyebut bahwa setiap batuan diperiksa posisi dan teksturnya agar tidak mengganggu kestabilan situs.

Pendekatan ini menunjukkan kesadaran bahwa pelestarian budaya tidak bisa dilepaskan dari pelestarian alam. Gunung Padang tidak hanya warisan manusia, tapi juga bagian dari ekosistem pegunungan yang rapuh. Jika konservasi diabaikan, ancaman longsor bukan hanya merusak situs, tapi juga menodai tanggung jawab generasi terhadap lingkungan.

Tantangan konservasi juga menyentuh aspek sosial: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan ekonomi wisata dengan perlindungan situs. Pembatasan zona wisata menjadi kompromi cerdas—pengunjung tetap bisa hadir, tapi tidak mengancam keutuhan situs. Di sinilah kebijakan publik diuji: antara edukasi dan eksploitasi.

4. Gunung Padang dan Cermin Identitas Bangsa

Rombongan touring SMAN 13 Bandung menaiki jalan berundak menujuk lokasi Situs Gunung Padang, Cianjur, 5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)
Rombongan touring SMAN 13 Bandung menaiki jalan berundak menujuk lokasi Situs Gunung Padang, Cianjur, 5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)

Gunung Padang bukan sekadar peninggalan arkeologis; ia adalah metafora tentang identitas bangsa yang berlapis. Dari batu-batu yang disusun berundak, kita bisa membaca kesabaran, ketekunan, dan rasa hormat pada alam. Di era yang serba cepat ini, nilai-nilai itu terasa makin langka.

Kehadiran wisatawan yang menyaksikan pemugaran juga menjadi momentum memperkuat literasi budaya masyarakat. Indonesia membutuhkan generasi yang bukan hanya bangga pada peninggalan sejarah, tetapi juga paham makna dan tanggung jawab menjaganya. Gunung Padang bisa menjadi laboratorium karakter bangsa.

Lebih jauh, situs ini menegaskan bahwa kebudayaan adalah fondasi peradaban, bukan hiasan. Di tengah politik identitas yang kerap membelah, Gunung Padang hadir sebagai simbol penyatu—sebuah narasi bersama tentang asal dan arah perjalanan bangsa.

5. Dari Situs ke Kesadaran Kolektif

Tim Touring SMAN 13 Bandung mengunjungi  situs Gunung Padang, Desa Karyamukti, Campaka, pada hari Jumat,  5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)
Tim Touring SMAN 13 Bandung mengunjungi  situs Gunung Padang, Desa Karyamukti, Campaka, pada hari Jumat,  5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)

Apa arti memugar situs jika masyarakat tidak turut “dipugar” kesadarannya? Pertanyaan ini menuntun kita pada refleksi yang lebih dalam. Pemugaran fisik hanyalah langkah awal, sementara pemugaran mental—cara kita menghargai warisan budaya—adalah inti dari semua upaya.

Kita kerap abai terhadap situs-situs bersejarah di sekitar kita: membiarkan rusak, mengalihfungsikan, atau menunggu pemerintah bergerak. Padahal, tanpa partisipasi publik, warisan budaya hanya menjadi monumen bisu. Gunung Padang menunjukkan jalan berbeda: keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari proses sejarah itu sendiri.

Dari sini, muncul harapan baru: bahwa pelestarian bukan proyek temporer, melainkan gerakan jangka panjang yang menanamkan rasa bangga, cinta, dan tanggung jawab pada identitas bangsa.

6. Menjaga Masa Lalu, Menata Masa Depan

Pak Ana Cahyana dan Pak Kosasih anggota Touring SMAN 13 Bandung berpose di lokasi   situs Gunung Padang, Cianjur 5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)
Pak Ana Cahyana dan Pak Kosasih anggota Touring SMAN 13 Bandung berpose di lokasi   situs Gunung Padang, Cianjur 5/09/2025 (Dok. Tim Touring 13)

“Bangsa yang kuat bukan yang melupakan sejarahnya, tapi yang menafsirkan ulang warisannya dengan bijak.”

Pemugaran Gunung Padang memberi pelajaran sederhana namun mendalam: bahwa setiap batu memiliki cerita, dan setiap cerita adalah jembatan menuju masa depan. Di era yang penuh ketergesaan, menyaksikan proses pelestarian ini mengajarkan arti sabar, hormat, dan konsistensi.

Sebagai bangsa besar, kita perlu menyadari bahwa pelestarian budaya bukan nostalgia, melainkan strategi keberlanjutan. Gunung Padang tidak hanya sedang dibangun kembali, tapi juga sedang membangun kembali cara kita memandang Indonesia—dari akar sejarah menuju puncak peradaban.

Sekali Merengkuh Dayung di Cianjur yang Hangat

Rombongan touring SMAN 13 Bandung  sedang menikmati makan siang di kediapan orang tua Pak Raka Herdien di Campaka, Cianjur (Dok. Tim Touring 13) 
Rombongan touring SMAN 13 Bandung  sedang menikmati makan siang di kediapan orang tua Pak Raka Herdien di Campaka, Cianjur (Dok. Tim Touring 13) 

Kunjungan ke Situs Gunung Padang kali ini bukan hanya perjalanan edukatif, tetapi juga momen silaturahmi yang penuh makna. Seusai menyusuri tangga dan menjelajahi Situs Gunung Padang, rombongan touring SMAN 13 Bandung menyempatkan diri singgah ke kediaman orang tua Pak Raka Herdien M. Isya, guru Geografi yang menjadi salah satu penggagas kegiatan tersebut di Campaka, Cianjur. Sambutan hangat keluarga tuan rumah menjadi penutup indah dari hari yang sarat makna.

Rombongan touring SMAN 13 Bandung  sedang menikmati makan siang di kediapan orang tua Pak Raka Herdien di Campaka, Cianjur (Dok. Tim Touring 13) 
Rombongan touring SMAN 13 Bandung  sedang menikmati makan siang di kediapan orang tua Pak Raka Herdien di Campaka, Cianjur (Dok. Tim Touring 13) 

Di rumah yang asri di Cianjur itu, rombongan disambut dengan keramahan khas Sunda. Mereka beristirahat sejenak, menunaikan shalat, dan menikmati santapan siang yang disajikan dengan penuh kehangatan. Momen sederhana itu menjelma menjadi refleksi mendalam: dalam satu perjalanan, mereka bukan hanya menapaki jejak peradaban di Gunung Padang, tetapi juga menguatkan  nilai kekeluargaan dan kebersamaan di antara warga SMAN 13 Bandung—sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Disclaimer:
Tulisan ini bersifat analisis reflektif berbasis pemberitaan Kompas.com (12/10/2025) dan tidak mewakili pandangan resmi lembaga mana pun.

Daftar Pustaka:

  1. Firman Taufiqurrahman & Irfan Maullana. (2025, 12 Oktober). Proses Pemugaran Situs Gunung Padang Bisa Disaksikan Langsung Wisatawan. Kompas.com. https://bandung.kompas.com/read/2025/10/12/190053478/proses-pemugaran-situs-gunung-padang-bisa-disaksikan-langsung-wisatawan
  2. Kompas.id. (2025). Fakta Baru Gunung Padang: Batu Raksasa Diduga Dibawa dari Tempat Lain. https://www.kompas.id
  3. Kementerian Kebudayaan RI. (2025). Pedoman Pemugaran dan Pelestarian Cagar Budaya Nasional. Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya.
  4. Harari, Y. N. (2018). Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  5. Tempo.co. (2024). Gunung Padang dan Kontroversi Piramida Tertua Dunia. https://nasional.tempo.co

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun