Saat Negara Menalangi Kelalaian, Di Mana Letak Keadilan Fiskal Kita?
“Empati adalah panggilan hati; akuntabilitas adalah panggilan nurani.”
Oleh Karnita
Ketika Empati Bersinggungan dengan Akuntabilitas Publik
Apakah pantas uang rakyat digunakan untuk membangun ulang bangunan yang roboh karena kelalaian? Pertanyaan ini mengemuka setelah berita bertajuk “Rencana Pembangunan Ulang Pesantren Al-Khoziny Pakai APBN Dinilai Kurang Tepat” dimuat di Republika.co.id pada 10 Oktober 2025. Kasus ambruknya mushalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan santri, menimbulkan duka mendalam sekaligus polemik baru di ranah kebijakan publik.
Sebagai peristiwa kemanusiaan, tragedi ini jelas mengundang simpati. Namun, ketika pemerintah berencana menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun ulang pesantren tersebut, publik pun bertanya: apakah empati dapat dijadikan dasar kebijakan fiskal tanpa batas? Di sinilah dilema antara solidaritas kemanusiaan dan disiplin anggaran negara bertemu.
Penulis tertarik membahas isu ini karena polemiknya tidak hanya menyentuh aspek hukum dan ekonomi, tetapi juga moral publik. Di tengah meningkatnya kesadaran transparansi fiskal, kebijakan ini menjadi cermin bagaimana negara menempatkan rasa iba di hadapan prinsip keadilan anggaran. Relevansinya terasa kuat, sebab kasus ini bisa menjadi preseden bagi kebijakan serupa di masa depan: apakah setiap kelalaian boleh ditebus oleh uang rakyat?
1. Bencana atau Kelalaian? Titik Awal Penilaian Moral dan Fiskal
Perbedaan antara bencana alam dan kelalaian manusia menjadi fondasi etik dalam kebijakan publik. Bila mushalla Pesantren Al-Khoziny roboh akibat gempa atau banjir, maka tanggung jawab negara bersifat wajar dan konstitusional. Namun, jika penyebabnya adalah konstruksi yang buruk, lemahnya pengawasan, atau pelanggaran prosedur bangunan, maka logika penggunaan APBN harus diuji secara moral dan hukum.
Seperti ditegaskan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat (UPN Veteran Jakarta), “negara tidak bisa menjadi penebus dosa atas kelalaian privat.” Pernyataan ini menyoroti bahwa setiap kebijakan berbasis empati harus tetap tunduk pada asas akuntabilitas fiskal. Mengabaikannya berarti membuka ruang moral hazard institusional —di mana kelalaian dianggap bisa ditebus dengan kas negara.
Dalam konteks ini, pembangunan ulang tanpa audit penyebab akan menimbulkan preseden berbahaya. Bukan hanya soal dana, tetapi soal pesan moral kepada publik: bahwa kelalaian dapat dimaklumi selama memiliki nilai sosial. Ini bertentangan dengan prinsip hukum dan tata kelola keuangan negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23 UUD 1945.