Makanan bergizi memperkuat tubuh, tetapi perhatian memperkuat jiwa. Gizi tanpa kasih bisa menumbuhkan tubuh tanpa arah, sementara kasih tanpa gizi bisa melemahkan daya hidup. Keduanya harus berjalan beriringan sebagai bentuk pengasuhan reflektif.
Inilah yang kerap luput dari kebijakan publik: dimensi emosional dari praktik makan bersama. Pemerintah telah menyediakan makanan; kini tugas keluarga adalah menghadirkan kehangatan di setiap sendoknya.
5. Saat Refleksi Menjadi Pola Asuh
Menjadikan waktu makan camilan sebagai sarana bonding menuntut kesadaran reflektif dari orang tua. Ini bukan sekadar soal jadwal, tetapi sikap batin untuk hadir. Dalam dunia yang terburu-buru, refleksi menjadi bentuk perlawanan yang lembut terhadap kehilangan makna.
Dengan kesadaran ini, setiap momen makan menjadi ruang pembelajaran emosional. Anak belajar berbagi, menunggu, dan menghargai rasa. Orang tua belajar mendengarkan dengan hati, bukan sekadar merespons dengan nasihat.
Dari sinilah tumbuh pola asuh yang humanis: anak dibentuk bukan dengan otoritas, tetapi dengan empati. Seperti kata Anastasia, “Anak tak butuh orang tua yang sempurna, tapi yang hadir sepenuh hati.”
Hadir dengan Sepenuh Cinta
Ketika waktu begitu sempit, hadirlah dengan hati yang penuh. Dalam 15 menit yang sederhana, kita menanam benih kehangatan yang akan tumbuh sepanjang usia anak. Kehadiran sejati adalah bentuk kasih yang tak membutuhkan kata-kata panjang.
"Anak-anak tak mengingat apa yang kita katakan, tapi bagaimana kita membuat mereka merasa." Di situlah inti pengasuhan reflektif—menghadirkan cinta tanpa syarat, bahkan di sela remah biskuit dan tawa ringan sore hari. Wallahu a'lam.
Disclaimer: