Cukup 15 Menit, Mari Ayah-Bunda Hadir Sepenuh Hati!
"Kehadiran tak diukur dari waktu, tapi dari seberapa dalam hati ikut hadir."
Oleh Karnita
Ketika Waktu Tak Lagi Panjang, tapi Bermakna
Pernahkah kita merasa sudah memberikan banyak waktu, namun anak justru tampak jauh secara emosional? Di era yang serba cepat, kehadiran orang tua sering tersandera oleh gawai dan rutinitas. Namun, psikolog anak Anastasia Satriyo mengingatkan, bahkan 15 menit saja bisa menjadi ruang kecil yang menyembuhkan—jika hati benar-benar hadir.
Mengapa momen sesederhana makan camilan bisa begitu penting? Karena di sanalah anak merasa dilihat, dipahami, dan dicintai tanpa syarat. Di sela tawa ringan dan remah biskuit, sesungguhnya sedang tumbuh fondasi rasa percaya diri dan keamanan emosional anak.
Penulis tertarik pada gagasan ini karena mengandung pesan reflektif bagi keluarga modern yang kerap kehilangan momen-momen kecil penuh makna. Di tengah derasnya informasi dan tekanan produktivitas, snacking time menjadi simbol tentang betapa berharganya perhatian yang tulus. Momen ini bukan soal makanan, tapi tentang makna kehadiran.
1. Momen Kecil, Makna Besar
Snacking time, dalam pandangan Anastasia Satriyo, adalah ruang reflektif dalam pengasuhan modern. Ketika anak menikmati kudapan sederhana bersama orang tua, terjadilah dialog emosional yang lembut namun kuat. Di situ, anak belajar bahwa kasih sayang tak selalu hadir dalam bentuk nasihat panjang atau hadiah besar.
Momen sederhana ini juga memberi pesan bahwa kehadiran orang tua tak perlu menunggu waktu luang yang ideal. Cukup 15 menit dengan tatapan tulus, sapaan ringan, dan senyum hangat sudah cukup menjadi “jangkar” emosional bagi anak. Anak yang merasa diterima dalam momen kecil, kelak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan berani mengekspresikan diri.
Kehadiran sejati bukan tentang lamanya waktu, tapi kualitas perhatian. Di tengah dunia yang penuh distraksi, 15 menit yang fokus bisa jauh lebih berarti daripada berjam-jam namun disertai layar yang terus menyala.
2. Metode ABC: Acknowledge, Bonding, Celebrate
Psikolog Anastasia memperkenalkan metode ABC untuk memperkuat makna snacking time. Acknowledge berarti mengakui perasaan anak tanpa menghakimi. Anak perlu tahu bahwa emosinya valid dan diterima, bukan diabaikan atau ditertawakan.
Tahap berikutnya, Bonding, menekankan interaksi yang melibatkan rasa dan sensorik. Misalnya, orang tua menanyakan rasa camilan, cara anak memakannya, atau hanya menatap sambil tersenyum—sebuah komunikasi tanpa kata yang menenangkan. Terakhir, Celebrate, yaitu merayakan pencapaian kecil anak.
Metode ini tampak sederhana, tetapi membentuk kebiasaan emosional yang positif. Anak belajar bahwa hidup penuh momen untuk diapresiasi, bukan sekadar diselesaikan. Dan orang tua pun belajar hadir tanpa syarat—hanya untuk menikmati keberadaan anak sebagaimana adanya.
3. Gawai dan Hilangnya Tatapan
Sayangnya, kehadiran digital sering menggeser kehadiran emosional. Banyak orang tua secara fisik bersama anak, namun perhatian mereka tertambat di layar ponsel. Padahal, anak menangkap pesan nonverbal lebih kuat dari kata-kata.
Anastasia mengingatkan, cukup 15 menit yang benar-benar fokus sudah cukup. Dalam waktu sesingkat itu, anak bisa merasakan cinta yang nyata, lebih daripada sejam bersama tetapi terabaikan. Anak di bawah usia tujuh tahun menyimpan memori bukan berdasarkan rutinitas, melainkan emosi yang menyertai.
Artinya, satu momen snacking yang hangat bisa menempel dalam ingatan anak sepanjang hidupnya. Sebuah tatapan lembut, tawa bersama, atau sekadar tangan yang mengusap kepala—itulah bahasa cinta yang paling lama bertahan.
4. Dari Nutrisi Tubuh ke Nutrisi Emosi
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah membawa dampak baik pada gizi anak dan ibu. Namun, momen makan juga perlu dimaknai lebih luas sebagai sarana pemenuhan nutrisi emosional. Di Posyandu, ketika ibu menyuapi anak sambil tersenyum, sesungguhnya ada pendidikan kasih yang sedang berlangsung.
Makanan bergizi memperkuat tubuh, tetapi perhatian memperkuat jiwa. Gizi tanpa kasih bisa menumbuhkan tubuh tanpa arah, sementara kasih tanpa gizi bisa melemahkan daya hidup. Keduanya harus berjalan beriringan sebagai bentuk pengasuhan reflektif.
Inilah yang kerap luput dari kebijakan publik: dimensi emosional dari praktik makan bersama. Pemerintah telah menyediakan makanan; kini tugas keluarga adalah menghadirkan kehangatan di setiap sendoknya.
5. Saat Refleksi Menjadi Pola Asuh
Menjadikan waktu makan camilan sebagai sarana bonding menuntut kesadaran reflektif dari orang tua. Ini bukan sekadar soal jadwal, tetapi sikap batin untuk hadir. Dalam dunia yang terburu-buru, refleksi menjadi bentuk perlawanan yang lembut terhadap kehilangan makna.
Dengan kesadaran ini, setiap momen makan menjadi ruang pembelajaran emosional. Anak belajar berbagi, menunggu, dan menghargai rasa. Orang tua belajar mendengarkan dengan hati, bukan sekadar merespons dengan nasihat.
Dari sinilah tumbuh pola asuh yang humanis: anak dibentuk bukan dengan otoritas, tetapi dengan empati. Seperti kata Anastasia, “Anak tak butuh orang tua yang sempurna, tapi yang hadir sepenuh hati.”
Hadir dengan Sepenuh Cinta
Ketika waktu begitu sempit, hadirlah dengan hati yang penuh. Dalam 15 menit yang sederhana, kita menanam benih kehangatan yang akan tumbuh sepanjang usia anak. Kehadiran sejati adalah bentuk kasih yang tak membutuhkan kata-kata panjang.
"Anak-anak tak mengingat apa yang kita katakan, tapi bagaimana kita membuat mereka merasa." Di situlah inti pengasuhan reflektif—menghadirkan cinta tanpa syarat, bahkan di sela remah biskuit dan tawa ringan sore hari. Wallahu a'lam.
Disclaimer:
Artikel ini ditulis untuk tujuan edukatif dan reflektif, tidak menggantikan nasihat profesional dalam konteks psikologi anak.
Daftar Pustaka:
- Republika.co.id. (11 Oktober 2025). Psikolog: Waktu Makan Camilan Bisa Jadi Sarana Bonding Orang Tua dan Anak. https://www.republika.co.id/berita/some-url
- Kemenkes RI. (2025). Program Makan Bergizi Gratis untuk Balita dan Ibu Hamil. https://www.kemkes.go.id
- Satriyo, A. (2024). Reflektif Parenting di Era Digital. Jakarta: Penerbit Psikososial.
- Kompas.com. (2025). Peran Keluarga dalam Pembentukan Kecerdasan Emosional Anak. https://www.kompas.com/lifestyle
- WHO. (2024). Early Childhood Development and Emotional Bonding. https://www.who.int
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI