Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Anak Harus Belajar di Lantai, Mestikah Kepedulian Datang, Menunggu Viral Dulu?

11 Oktober 2025   19:34 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:34 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan siswa SDN Cipaku di Sukabumi belajar dengan kondisi telungkup beralas lantai keramik, ruangan kelas mereka ambruk (TrubunJabar.id). 

Kehadiran pemerintah dalam kasus ini adalah kabar baik yang harus diapresiasi. Bantuan mebelair dari Kemendikdasmen menjadi wujud tanggung jawab negara terhadap masa depan anak-anak Indonesia. Seperti yang dikatakan Gogot, “Kami tidak ingin ada satu pun anak Indonesia yang belajar tanpa fasilitas layak.” Pernyataan ini menyiratkan komitmen moral dan politik yang patut dijaga konsistensinya.

Namun, kepedulian negara tidak boleh berhenti di satu sekolah. Ia harus menjadi sistem keberlanjutan yang terukur dan terencana. Pemantauan efektivitas bantuan, audit sarana, dan koordinasi lintas instansi harus berjalan terus agar keadilan pendidikan benar-benar terasa.

Ketika pemerintah hadir dengan tanggap dan tulus, masyarakat pun akan percaya bahwa negara tidak sekadar mendengar, tetapi juga bertindak. Dan itulah bentuk paling sederhana dari kehadiran negara yang beradab: tidak membiarkan anak-anak belajar di lantai.

5. Dari Cibitung untuk Indonesia: Refleksi Moral Pendidikan

Kisah SDN 1 Cibitung adalah pengingat bahwa pendidikan tidak hanya soal angka partisipasi sekolah atau hasil asesmen nasional. Ia adalah refleksi moral tentang bagaimana kita memperlakukan anak-anak bangsa. Mereka yang belajar di lantai hari ini bisa jadi pemimpin masa depan, tapi hanya jika kita menyiapkan mereka dengan fasilitas dan martabat yang layak.

Kasus ini menuntut perubahan paradigma dalam melihat pendidikan: bukan sekadar investasi ekonomi, tetapi juga tanggung jawab moral kolektif. Ketika fasilitas dasar terpenuhi, barulah kurikulum, teknologi, dan inovasi bisa berfungsi optimal. Tanpa itu, semua jargon kemajuan hanya berhenti di atas kertas.

Dari Cibitung, kita belajar bahwa pendidikan sejati berawal dari empati. Dan empati itulah yang seharusnya menuntun setiap kebijakan publik di bidang pendidikan.

Menutup dengan Harapan: Jangan Tunggu Viral untuk Peduli

"Anak-anak tidak butuh simpati, mereka butuh sistem yang bekerja."

Kisah di Sukabumi seharusnya menjadi pengingat bagi seluruh pihak bahwa kepedulian tidak boleh menunggu viralitas. Pemerataan sarana pendidikan harus menjadi agenda permanen, bukan respons sesaat. Jika setiap sekolah di Indonesia mendapat perhatian yang sama, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan lebih dari sekadar janji konstitusi.

Mari belajar dari Cibitung — bahwa di balik kesederhanaan ruang kelas, tersimpan harapan besar bangsa ini. Sebuah harapan yang hanya bisa tumbuh di atas dasar yang layak, manusiawi, dan bermartabat. Wallahu a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun