2. Dari Viralitas ke Kebijakan: Siapa yang Harus Bergerak?
Bantuan memang datang, tapi mengapa harus menunggu viral terlebih dahulu? Pertanyaan ini mengusik nurani banyak orang. Pemerintah pusat, melalui Kemendikdasmen, bergerak cepat setelah laporan muncul, namun seharusnya sistem deteksi dini sudah mencegah anak-anak belajar di lantai sejak awal.
Direktur Jenderal Gogot Suharwoto menegaskan pentingnya pemetaan kebutuhan fasilitas pendidikan di daerah. Namun, mekanisme birokrasi yang lamban kerap menjadi penyebab keterlambatan bantuan. Di era digital, mestinya sudah ada sistem berbasis data real-time yang bisa melacak kondisi sekolah hingga pelosok tanpa menunggu laporan manual.
Kasus Cibitung menjadi momentum untuk menata ulang mekanisme respons pendidikan nasional. Kementerian tidak bisa bekerja sendiri; peran pemerintah daerah, kepala sekolah, dan masyarakat harus bersinergi. Pendidikan bukan hanya urusan kurikulum, tetapi juga soal martabat manusia yang belajar di dalamnya.
3. Ketika Anak Belajar Tentang Kesabaran, Bukan Kenyamanan
Anak-anak SDN 1 Cibitung telah mengajarkan sesuatu kepada kita semua: ketabahan. Mereka tetap datang ke sekolah setiap hari, meski tanpa meja dan kursi. Di balik foto-foto yang viral, tersimpan wajah-wajah kecil yang tidak menyerah pada keadaan.
Namun, apakah kesabaran harus selalu dijadikan pelajaran utama bagi mereka? Dalam jangka panjang, kondisi fisik ruang belajar berpengaruh langsung pada motivasi dan prestasi siswa. Belajar di lantai bukan hanya tidak nyaman, tetapi juga berisiko bagi kesehatan tulang dan postur tubuh anak-anak yang sedang tumbuh.
Pendidikan mestinya mengajarkan optimisme, bukan ketahanan terhadap kelalaian sistem. Ketika kita menganggap penderitaan sebagai kewajaran, di situlah kemanusiaan mulai terkikis. Maka, bantuan yang datang bukan hanya menebus kekurangan fasilitas, tetapi juga mengembalikan rasa hormat pada hak anak untuk belajar secara manusiawi.
4. Kepedulian Negara dan Makna Kehadiran Nyata