Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Anak Harus Belajar di Lantai, Mestikah Kepedulian Datang, Menunggu Viral Dulu?

11 Oktober 2025   19:34 Diperbarui: 11 Oktober 2025   19:34 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SDN 1 Cibitung.* /Dok. Kemendikdasmen

Ketika Anak Harus Belajar di Lantai, Mestikah Kepedulian Datang, Menunggu Viral Dulu?
"Pendidikan seharusnya mengangkat martabat, bukan menguji daya tahan."

Oleh Karnita

Belajar Layak: Hak Dasar yang Masih Tertunda

Apakah pantas di negeri yang mengaku mencerdaskan kehidupan bangsa, anak-anak masih harus belajar di lantai? Pertanyaan itu mencuat lagi pada Senin, 6 Oktober 2025, lewat berita Pikiran Rakyat berjudul “Setelah Sempat Viral Belajar di Lantai, SDN 1 Cibitung Kabupaten Sukabumi Akhirnya Dapat Bantuan Mebelair.” Kasus ini bukan sekadar kisah viral, tetapi cermin bahwa masih ada ruang kelas yang belum layak bagi generasi masa depan kita.

Kabar itu menggambarkan puluhan murid kelas I SDN 1 Cibitung yang sejak awal tahun ajaran baru terpaksa duduk di lantai tanpa meja dan kursi. Baru setelah viral di media, bantuan datang dari Kemendikdasmen berupa 64 kursi, 32 meja, serta sarana lain yang semestinya sudah menjadi hak dasar setiap siswa. Kejadian ini menggugah empati publik, tapi juga menyisakan pertanyaan besar tentang sistem yang seharusnya lebih tanggap sebelum viralitas berbicara.

Penulis tertarik mengulas peristiwa ini karena kasus SDN 1 Cibitung sejatinya menyentuh jantung persoalan pendidikan nasional: pemerataan dan keadilan akses. Dalam situasi di mana teknologi pendidikan sedang digenjot besar-besaran, ada anak-anak di pelosok yang masih belajar tanpa kursi. Ini bukan hanya ironi, tapi tanda betapa pentingnya reformasi dalam tata kelola fasilitas pendidikan yang lebih adil dan sistematis.

1. Ketika Ruang Kelas Menjadi Cermin Ketimpangan

Ruang kelas seharusnya menjadi tempat yang memberi rasa aman, bukan sekadar tempat berteduh dari panas dan hujan. Namun, kenyataan di SDN 1 Cibitung menunjukkan bahwa sebagian anak Indonesia masih harus mengukur semangat belajarnya dari dinginnya lantai. Ini menandakan adanya ketimpangan struktural dalam distribusi sarana pendidikan dasar.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana pembangunan pendidikan sering tidak berjalan seiring dengan pemerataan. Ada sekolah di kota dengan fasilitas digital lengkap, sementara sekolah di daerah masih berjuang untuk memiliki kursi dan papan tulis. Ketimpangan ini menciptakan jurang kualitas belajar yang makin melebar, bukan karena kemampuan anak berbeda, tetapi karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak.

Refleksinya jelas: pendidikan yang tidak adil adalah bentuk ketidakadilan yang paling senyap. Ia tidak memukul langsung, tetapi menunda masa depan. Jika pemerataan sarana tidak segera menjadi prioritas utama, kita berisiko melahirkan generasi yang berbeda bukan karena bakat, melainkan karena keberuntungan geografis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun