Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Ketika Irigasi Mati 15 Tahun, Siapa yang Lalai?

10 Oktober 2025   09:57 Diperbarui: 10 Oktober 2025   09:57 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga sedang memasang spanduk protes matinya irigasi di Desa Sambeng 

Dalam konteks nasional, hal ini menandai kelemahan klasik tata kelola infrastruktur pertanian. Pemerintah pusat maupun daerah sering sibuk membangun bendungan baru, tapi abai terhadap sistem lama yang menjadi tulang punggung petani. Air mengalir bagi yang punya proyek, bukan bagi yang membutuhkan.

Pembagian Air yang Tak Adil: Ketika Dua Irigasi Berebut Satu Sumber

Masalah kedua adalah ketimpangan distribusi air antara DI Loning dan DI Kragilan. Sumber air yang seharusnya cukup untuk satu sistem irigasi, kini harus berbagi dua. Akibatnya, aliran menjadi lemah dan tak sampai ke wilayah hilir seperti Bayan. Petani di bawah aliran hanya menerima sisa air, sementara sawah di bagian atas tetap hijau.

Pembagian yang tak proporsional ini memperlihatkan wajah ketimpangan struktural dalam pengelolaan sumber daya alam. Air bukan hanya persoalan teknis, tapi juga politik. Di banyak daerah, siapa yang punya akses ke pintu air, dialah yang punya kuasa atas hasil bumi.

Refleksi penting dari kasus ini adalah perlunya sistem distribusi air yang transparan dan berbasis keadilan spasial. Dalam era digital, teknologi sensor dan sistem kontrol otomatis seharusnya bisa diterapkan untuk mencegah perebutan air secara sepihak. Namun, tanpa komitmen moral, teknologi hanyalah alat tanpa arah.

Pencurian Air: Ketika Bertahan Hidup Menjadi Pelanggaran

Masalah ketiga yang menambah pelik persoalan ini adalah pencurian air melalui lubang-lubang ilegal. Beberapa oknum membuat saluran liar untuk menyedot air langsung dari aliran utama. Sekilas tindakan ini tampak kriminal, tapi di sisi lain, ia lahir dari rasa frustrasi yang dalam. Petani yang sawahnya kering berbulan-bulan memilih jalan pintas agar tanaman tidak mati.

Fenomena ini menggambarkan bagaimana ketimpangan dan lambannya respons pemerintah menciptakan “kejahatan yang sistemik.” Ketika negara lambat mengairi, rakyat mencari cara sendiri untuk bertahan. Namun, praktik ini justru memperburuk krisis: debit air berkurang, konflik antarpetani meningkat, dan ekosistem irigasi semakin rusak.

Dalam situasi seperti ini, penegakan hukum perlu diiringi pendekatan sosial. Pencurian air bukan semata pelanggaran hukum, tapi juga tanda bahwa sistem distribusi gagal memenuhi rasa keadilan dasar warga.

Suara Petani dan Janji Pemerintah: Antara Harapan dan Penantian

Warga sedang memasang spanduk protes matinya irigasi di Desa Sambeng 
Warga sedang memasang spanduk protes matinya irigasi di Desa Sambeng 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun