Apakah Kita Benar-benar Rela Permainan Tradisional Hanya Tinggal Cerita?
"Tradisi bukan sekadar masa lalu, tetapi jembatan yang menuntun anak-anak menapaki masa depan dengan akar yang kokoh."
Oleh Karnita
Permainan Tradisional, Cermin Identitas Anak Bangsa
Apakah anak-anak kita masih mengenal serunya gobak sodor atau riuhnya lomba bakiak? Pada Sabtu, 27 September 2025, Republika memberitakan perlombaan permainan tradisional di GOR Taman Cirebon Power, Desa Kanci Kulon, Cirebon. Ratusan siswa SD bersemangat mengikuti gobak sodor, balap bakiak, dan estafet balok, membuktikan bahwa tradisi ini masih punya ruang dalam kehidupan modern.
Mengapa kegiatan ini terasa penting di tengah derasnya arus teknologi? Saat gawai mengikat perhatian anak-anak, permainan tradisional hadir sebagai penyeimbang yang menumbuhkan interaksi nyata dan kebersamaan. Itulah yang membuat penulis tertarik menyoroti ajang ini, sebagai refleksi akan nasib budaya bermain anak di masa kini.
Apalagi, kegiatan yang diikuti 23 sekolah dengan lebih dari 500 peserta ini digelar bertepatan dengan momentum Hari Olahraga Nasional (Haornas). Ada urgensi untuk menghidupkan kembali tradisi bermain yang mendidik secara jasmani, sosial, dan emosional. Maka, perlombaan ini bukan sekadar lomba, melainkan perlawanan terhadap tergerusnya identitas lokal oleh budaya digital.
Gobak Sodor: Lebih dari Sekadar Permainan
Gobak sodor bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, melainkan keterampilan membaca gerak lawan, strategi, dan kecepatan refleks. Permainan ini menumbuhkan nilai sportivitas dan kerja sama dalam sebuah tim kecil. Setiap langkah dan hadangan menciptakan dinamika sosial yang tidak bisa digantikan layar gawai.