Bumi Ini Sudah Cantik, Tugas Kita Mempercantiknya!
“Jangan tunggu bencana alam terjadi. Jangan tunggu oksigen harus bayar. Jangan tunggu napasmu terhenti baru peduli.”—Lia Putrinda Anggawa Mukti
Oleh Karnita
Sore di Pesisir Gersang: Awal Kisah Lia
Pernahkah Anda menatap hamparan pasir panas tanpa teduh dan bertanya-tanya, “Dulu di sini tumbuh apa ya?” Pada 12 September 2025, Kompas.com menayangkan kisah Lia Putrinda Anggawa Mukti, perempuan yang menjadikan hamparan pesisir Malang sebagai laboratorium hidup konservasi. Kisah ini relevan, karena degradasi pesisir tak hanya mengancam alam, tapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Mengapa saya tertarik menulis ulang kisah Lia? Karena sejak SD hingga SMA, ia memilih tetap berkarya di kampung halaman, menekuni konservasi mangrove, bukan sekadar mengejar gemerlap kota. Transformasi pesisir gersang menjadi hutan hijau rimbun kini nyata di hadapan kita. Ia membuktikan bahwa langkah kecil dan konsisten bisa menumbuhkan perubahan besar.
Urgensi kisah ini lebih dari soal ekologi: ini soal perempuan, komunitas, dan pendidikan lingkungan. Lia mengajak masyarakat untuk ikut menjaga alam, sekaligus membangun kesadaran kolektif. Dari pengalaman ini kita belajar, perubahan bisa lahir dari ketekunan, keberanian, dan aksi nyata, meski dimulai dari desa sendiri.
Pasir Panas dan Pertanyaan Lugu
Di tahun 2004, bocah 12 tahun bernama Lia berjalan menyusuri pantai Desa Tambak Rejo. Hamparan pasir panas membentang, nyaris tanpa teduh, sementara ayahnya mengenang hutan mangrove yang dulu rimbun. “Kok aku enggak bisa lihat hutan mangrove yang ayah ceritakan?” tanyanya dalam hati. Momen itu menyalakan passion konservasi yang akan menjadi identitasnya.
Keputusan Lia untuk tetap tinggal di desa bukan tanpa cibiran. Banyak warga skeptis, menganggap perempuan muda tak bisa memimpin perubahan. Namun, Lia memilih aksi nyata dibanding kata-kata, dan lama-lama warga ikut terlibat. Strategi ini membuktikan, aksi kecil tapi konsisten lebih ampuh daripada kritik panjang lebar.
Ia punya cara unik: mengajak warga yang awalnya merusak lingkungan untuk ikut menanam dan menjaga mangrove. Lama-lama, warga yang awalnya terpaksa kini menjadi pengawal kawasan. Transformasi perilaku ini menunjukkan bahwa konsistensi dan keteladanan mampu menembus skeptisisme.
CMC Tiga Warna: Dari Gersang Menjadi Hijau
Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna kini menjadi simbol perjuangan Lia. Kawasan ini bukan sekadar menanam mangrove, tetapi juga membangun kesadaran lewat konsep eduwisata. Sistem check list sampah, awalnya ditolak, kini menjadi budaya. Setiap pengunjung belajar bahwa rekreasi dan tanggung jawab lingkungan bisa berjalan bersamaan.
Lebih dari 50 hektar pesisir hijau kembali, biota laut mulai pulih, dan masyarakat merasakan manfaat ekologis sekaligus ekonomi. Prinsip Lia sederhana: tanam, pegang teguh, dan jalani konservasi tanpa tergoda keuntungan sesaat. Filosofi ini menegaskan keselarasan antara manusia dan alam serta tanggung jawab kolektif.
Program Sinau lan Dolanan (Si Dolan) mengajak anak-anak belajar dan bermain dengan alam. Anak-anak belajar sejak dini bahwa konservasi adalah bagian dari hidup. Edukasi ini menegaskan bahwa konservasi bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga warisan karakter dan etika lingkungan.
Perempuan Memayu Hayuning Bawono
Bagi Lia, konservasi adalah bagian dari fitrah perempuan. Filosofi memayu hayuning bawono—mempercantik dunia—menjadi panduan hidupnya. Dari sifat merawat yang melekat pada perempuan lahirlah keberanian dan ketekunan dalam menjaga alam.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menilai perempuan memiliki komitmen jangka panjang yang kuat. Mereka mampu menyebarkan pesan konservasi melalui jaringan informal, mendorong aksi kolektif yang efektif. Lia membuktikan kemampuan ini di lapangan: skeptisisme masyarakat berubah menjadi pengabdian nyata.
Peran perempuan juga menghubungkan konservasi dengan kesejahteraan komunitas. Dari rehabilitasi pesisir hingga penanaman bambu di hulu, Lia menegaskan bahwa pelestarian ekosistem bisa berjalan bersamaan dengan pembangunan masyarakat.
Tantangan dan Konsistensi: Kunci Aksi Lokal
Sumber daya manusia menjadi tantangan utama. Pertemuan rutin dan inovasi sederhana seperti check list sampah menjaga semangat para local champion. Integrasi antara ilmu, praktik, dan partisipasi masyarakat membuktikan bahwa konservasi efektif membutuhkan strategi holistik.
Perluasan ke hulu menuntut adaptasi, termasuk penanaman bambu untuk mengatasi krisis air bersih. Kini 25 persen pendapatan CMC dialokasikan untuk konservasi pesisir dan hulu. Langkah ini menegaskan bahwa konservasi adalah investasi jangka panjang.
Kolaborasi multipihak menjadi fondasi keberlanjutan. Pemerintah memfasilitasi, memberi apresiasi, dan mendorong replikasi program seperti Lia secara nasional. Keberhasilan konservasi bergantung pada sinergi antara individu, komunitas, dan pemerintah.
Filosofi “Forest & For Rest”
Bagi Lia, konservasi bukan hanya soal hutan (“Forest”), tetapi juga memberi ruang bagi alam untuk pulih (“For Rest”). Manusia belajar menghargai kehidupan, alam diberi kesempatan untuk bernafas. Warisan yang ditinggalkan adalah ekosistem sehat yang menopang kehidupan semua makhluk.
Pesan Lia jelas: “Jangan tunggu bencana alam terjadi. Jangan tunggu oksigen harus bayar. Jangan tunggu napasmu terhenti baru peduli.” Perubahan lahir dari keyakinan, aksi kecil, dan ketekunan. Dari bocah yang bertanya ke ayahnya, Lia kini menjadi inspirasi bagi perempuan dan komunitas.
Hijaukan Dunia dari Desa Sendiri
Jejak Lia Putrinda membuktikan bahwa aksi individu bisa menciptakan perubahan kolektif. Dari pesisir gersang ke laboratorium hidup hijau, ketekunan dan keberanian menghasilkan dampak nyata.
Warisan hijau Lia adalah ekosistem sehat, masyarakat sadar lingkungan, dan generasi yang belajar mencintai bumi. Filosofi memayu hayuning bawono menjadi pedoman: mempercantik dunia, bukan sekadar menikmati atau mengeksploitasi. “Bumi sudah cantik. Tugas kita adalah mempercantiknya, tidak merusaknya,” tuturnya mantap. Wallahu a'lam.
Disclaimer: Artikel ini merupakan ulasan komprehensif dari sumber Kompas.com untuk edukasi dan inspirasi konservasi.
Daftar Pustaka
- Kompas.com, “Jejak Lia Putrinda, Perempuan Penjaga Garis Pantai lewat Konservasi Mangrove,” 12/09/2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/09/12/17161021/jejak-lia-putrinda-perempuan-penjaga-garis-pantai-lewat-konservasi-mangrove
- Raja Juli Antoni, Kementerian Kehutanan RI, Pernyataan Resmi 12/09/2025, https://www.menhut.go.id
- Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna, Laporan Rehabilitasi Mangrove 2025, https://www.cmctigawarna.org
- Aningtias Jatmika & Agung Dwi E, Kompas.com, “Lia Putrinda: Perempuan Penjaga Garis Pantai,” 12/09/2025, https://nasional.kompas.com
- Direktorat Jenderal Konservasi SDA dan Ekosistem, Kemenhut RI, “Panduan Eduwisata Konservasi Mangrove,” 2025, https://konservasi.menhut.go.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI