Transparansi menjadi kunci agar revitalisasi benar-benar berpihak pada siswa. Informasi soal anggaran, standar teknis, dan jadwal proyek perlu diumumkan secara terbuka. Masyarakat berhak tahu sejauh mana dana besar itu digunakan.
Kritik pentingnya: laporan pemerintah cenderung menonjolkan angka dan keberhasilan, tetapi jarang membahas kendala di lapangan. Padahal, kendala itulah yang sering merugikan siswa. Dengan akuntabilitas yang kuat, setiap pihak akan terdorong untuk bekerja lebih profesional.
Refleksi terakhir: revitalisasi harus dipandang sebagai amanah, bukan sekadar proyek. Amanah itu menuntut kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab agar pendidikan tidak menjadi korban.
Masyarakat Sebagai Pengawal Kritis
Revitalisasi sekolah bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga urusan masyarakat. Guru, orang tua, dan siswa perlu ikut mengawasi agar kualitas dan waktu pengerjaan terjamin. Sekolah adalah ruang publik, sehingga publik berhak menjaga dan mengawal proses pembangunannya.
Kritiknya, partisipasi masyarakat sering dianggap hanya sebatas seremonial peresmian. Padahal, keterlibatan sejak proses pengawasan akan memberi dampak jauh lebih besar. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menerima hasil, tetapi juga turut memastikan proses berjalan sehat.
Pesannya jelas, revitalisasi sekolah adalah tanggung jawab kolektif. Semua pihak perlu memastikan agar sekolah benar-benar menjadi rumah aman dan nyaman bagi anak-anak.
Penutup
Revitalisasi sekolah dengan anggaran Rp16,97 triliun patut diapresiasi, tetapi juga wajib diawasi dengan kritis. Standar bangunan harus dijaga, dan proyek tidak boleh molor hingga mengganggu aktivitas belajar. Pendidikan anak bangsa bukan proyek percobaan, melainkan investasi yang menuntut keseriusan penuh.
Sebagaimana ungkapan bijak, “Bangunan bisa berdiri megah, tetapi pendidikan akan runtuh bila tidak dilandasi tanggung jawab.” Mari kita kawal bersama agar revitalisasi sekolah benar-benar menjadi warisan berharga bagi generasi masa depan.