Refleksi penting di sini adalah, niat baik tidak cukup bila tidak diiringi dengan tata kelola yang profesional. Kepercayaan publik terhadap MBG bisa runtuh bila kasus semacam ini terus berulang tanpa perbaikan sistemik.
2. Suara Warga: Dari Trauma ke Desakan Penghentian
Reaksi warga Cipongkor mencerminkan trauma mendalam. Endang, ayah salah satu korban, mengaku tidak lagi percaya terhadap MBG dan khawatir peristiwa serupa terulang. Senada, Aisyah, nenek korban lain, terang-terangan meminta agar program dihentikan. Suara ini datang dari akar rumput yang seharusnya menjadi pendukung utama kebijakan.
Dalam masyarakat, kepercayaan adalah kunci keberhasilan setiap program. Jika penerima manfaat justru merasa terancam, maka ada kesenjangan besar antara maksud pemerintah dan realitas. Trauma kolektif ini tidak bisa diabaikan begitu saja dengan jawaban birokratis.
Kritiknya jelas: program publik harus mengutamakan keselamatan warga di atas target angka atau pencitraan. Pemerintah perlu mendengar dengan serius suara warga, bukan sekadar mencatat laporan.
3. Peran Pemerintah Daerah dan Birokrasi Nasional
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, bersama Sekda KBB Ade Zakir, turun langsung ke Cipongkor untuk mengecek kondisi korban. Mereka memastikan penanganan medis cepat dilakukan, termasuk rujukan ke rumah sakit terdekat dan luar daerah. Namun, di sisi lain, jawaban soal desakan penghentian program terkesan normatif: akan dilaporkan ke Badan Gizi Nasional (BGN).
Kondisi ini menunjukkan adanya sekat birokrasi antara pemerintah daerah dan otoritas pusat. Padahal, masalah gizi seharusnya bisa ditangani dengan respons cepat tanpa harus menunggu laporan panjang. Ketidakselarasan ini membuat warga semakin merasa tidak terlindungi.
Refleksinya, ketika birokrasi lebih sibuk menjaga prosedur ketimbang nyawa anak-anak, program sebesar MBG akan kehilangan legitimasi moral.
4. Keamanan Pangan: Celah yang Masih Menganga