Refleksinya, kita diingatkan agar tidak menjadikan pujian sebagai alat meninggikan ego. Sebaliknya, setiap pujian seharusnya menjadi momentum mengingat bahwa Allah-lah sumber segala kebaikan. Inilah kesadaran yang membuat hati tetap tunduk, meski dunia menyanjung.
2. Pujian Allah kepada Makhluk-Nya
Pujian kedua adalah ketika Allah memuji makhluk-Nya, seperti dalam QS al-Qalam ayat 4 yang menegaskan keagungan akhlak Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menjadi teladan bahwa akhlak mulia adalah kriteria tertinggi manusia. Pujian Allah kepada makhluk bukan sekadar sanjungan, melainkan pengakuan atas keluhuran budi.
Pesannya jelas: manusia layak dipuji jika akhlaknya meneladani Rasul. Pujian bukan pada rupa, jabatan, atau kekayaan, melainkan pada keluhuran moral. Dalam kehidupan modern, hal ini menjadi kritik atas masyarakat yang sering salah menempatkan pujian pada hal-hal superfisial.
Refleksi bagi kita, pujian Allah adalah penghargaan sejati yang seharusnya dikejar. Setiap amal baik yang lahir dari ketulusan akan mendapat nilai, meski tidak dipuji manusia. Maka, jadikan akhlak sebagai tujuan, bukan popularitas semata.
3. Pujian Makhluk kepada Allah SWT
Pujian ketiga adalah pujian makhluk kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Fatihah ayat 2, "Segala puji bagi Allah, Rabb pemelihara alam." Lafaz hamdalah menjadi inti rasa syukur seorang hamba kepada Sang Pencipta. Pujian ini membentuk hubungan spiritual yang mendalam antara manusia dengan Tuhannya.
Pesan yang terkandung ialah syukur tak boleh terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ketika manusia lalai memuji Allah, maka ia kehilangan inti penghambaan. Di sinilah kritiknya: kita sering begitu mudah memuji manusia, tetapi kikir memuji Sang Pemberi Nikmat.
Refleksinya, memuji Allah bukan sekadar lisan, tetapi juga tindakan. Menjalankan ibadah dengan ikhlas, menebar kebaikan, dan menjaga amanah adalah bentuk pujian nyata kepada Allah. Inilah pujian yang menyelamatkan, bukan menjerumuskan.
4. Pujian Makhluk kepada Makhluk