Mawar Putih Mengiringi Langkah Terakhir Sri Mulyani
"Cinta terbesar seorang pemimpin adalah keberanian untuk berpamitan dengan anggun."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Bagaimana rasanya melepas seorang tokoh yang telah begitu lama menjadi wajah kebijakan fiskal bangsa? Selasa (9/9/2025), Kompas menurunkan berita bertajuk “Mawar Putih untuk Sri Mulyani” yang menggambarkan suasana haru di Lobi Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan. Ribuan pegawai hadir, bukan sekadar saksi, tetapi juga bagian dari cerita perpisahan penuh makna.
Mengapa momen itu menjadi begitu penting? Karena Sri Mulyani Indrawati bukan hanya pejabat negara, tetapi simbol integritas dan daya tahan fiskal Indonesia di tengah pusaran krisis global. Selama lebih dari 13 tahun, ia hadir bukan hanya sebagai pengambil kebijakan, melainkan juga teladan yang menjaga denyut fiskal negeri.
Terlepas dari pro dan kontra atas kebijakannya selama menjabat Menteri Keuangan, satu hal yang patut dicatat: ia meninggalkan institusi dengan kehormatan. Tidak sedikit pejabat di negeri ini justru berpamitan dengan kontroversi, bahkan dipermalukan saat lengser. Namun, Sri Mulyani mendapat perpisahan penuh cinta dari jajarannya—sebuah bukti bahwa hubungan kemanusiaan yang ia bangun di dalam institusi jauh lebih kokoh daripada sekadar kekuasaan.
Mengapa penulis tertarik mengulasnya? Karena kisah ini bukan sekadar berita perpisahan, melainkan refleksi tentang makna kepemimpinan, dedikasi, dan warisan nilai yang ditinggalkan seorang pejabat publik. Di tengah turbulensi global dan politik domestik, kepergian Sri Mulyani memberi ruang bagi kita untuk merenungkan: apa arti integritas di panggung kekuasaan?
Sri Mulyani dan Jejak Kepemimpinan Fiskal
Selama dua dekade lebih, Sri Mulyani identik dengan wajah Kementerian Keuangan. Namanya lekat dengan berbagai reformasi besar: dari penguatan pajak, penataan APBN, hingga pengendalian utang negara. Tidak banyak pejabat yang mampu menjaga kepercayaan publik sekaligus mendapat pengakuan dunia internasional.