Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mengonsumsi Mi Instan Setiap Hari, Kenikmatan atau Berisiko?

7 September 2025   16:02 Diperbarui: 7 September 2025   16:09 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Kebiasaan kecil bisa jadi penentu besar: apa yang kita makan, itulah masa depan kesehatan kita." (dok. Alodokter)

Kritiknya, masyarakat sering mengabaikan sisi kesehatan karena terjebak pada rasa nyaman dan praktis. Padahal, budaya makan seharusnya tidak hanya soal rasa dan kenangan, tetapi juga soal kualitas hidup yang lebih sehat.

2. Kandungan Natrium,  Ancaman Senyap untuk Jantung

"Apa yang nikmat di lidah belum tentu ramah di tubuh."  (Dok. Bola.com)

Satu bungkus mi instan bisa mengandung hingga 1.500 mg natrium. Angka itu mendekati bahkan melebihi batas rekomendasi harian WHO yang hanya 2.000 mg. Terbayang bagaimana dampaknya jika mi instan dikonsumsi setiap hari tanpa kontrol?

Natrium berlebihan memberi beban besar pada jantung dan ginjal. Tekanan darah tinggi, risiko stroke, hingga gagal ginjal hanyalah sebagian dari akibat jangka panjang yang sudah dibuktikan oleh banyak studi. Ironisnya, sebagian besar orang tidak sadar bahwa rasa gurih mi instan berasal dari garam berlebih yang tersamar dalam bumbu.

Refleksinya jelas: kenyamanan sesaat sering membuat kita abai pada ancaman kesehatan jangka panjang. Mi instan memang murah dan cepat, tetapi kesehatan jantung kita tak ternilai harganya.

3. Kekurangan Serat dan Protein: Masalah Sehari-Hari

Mi instan rata-rata terbuat dari tepung gandum rafinasi yang miskin serat. Akibatnya, pencernaan tidak bekerja optimal, dan risiko sembelit serta gangguan usus meningkat. Tanpa serat, tubuh juga kehilangan “alat bersih-bersih alami” yang seharusnya menjaga metabolisme tetap sehat.

"Apa yang nikmat di lidah belum tentu ramah di tubuh."  (Dok. Jurnalposmedia)

Selain itu, kandungan proteinnya pun rendah. Karbohidrat memang cepat mengenyangkan, tetapi tanpa tambahan telur, tahu, atau daging, rasa lapar segera kembali. Hal ini mendorong pola makan berlebihan yang justru memperbesar risiko obesitas.

Kritiknya, banyak orang menyepelekan hal ini dengan berpikir bahwa kenyang sudah cukup. Padahal, kenyang bukan berarti sehat; kualitas nutrisi jauh lebih penting dari sekadar isi perut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun