2. Menghargai Kehadiran Tamu
Nabi SAW bahkan rela melipat bajunya untuk diduduki tamunya. Sikap ini bukan sekadar keramahan, tetapi penghormatan tulus kepada setiap tamu yang hadir. Dalam kehidupan modern, tamu dapat dimaknai lebih luas: siapa pun yang datang ke dalam lingkar sosial kita, bahkan yang berbeda keyakinan dan latar belakang.
Isu pentingnya adalah keterbukaan hati untuk menerima keberagaman. Kritiknya, masyarakat modern sering hanya ramah kepada kelompoknya sendiri, sementara kepada yang berbeda diperlakukan dengan kecurigaan. Padahal, Nabi mengajarkan keramahan tanpa sekat kelas, suku, maupun status sosial.
Refleksinya, bangsa Indonesia yang majemuk amat membutuhkan teladan ini. Menghargai kehadiran orang lain adalah fondasi harmoni sosial. Dari ruang tamu sederhana Nabi, kita belajar bagaimana peradaban bisa lahir dari sikap saling menghormati.
3. Empati dan Kepedulian Sosial
Rasulullah SAW menjenguk sahabat yang sakit, mendoakan yang pergi, bahkan mendatangi kubur mereka jika tak sempat menyolatkan. Empati beliau tidak berhenti pada kata-kata, melainkan hadir dalam tindakan nyata. Sementara kini, kita kerap sibuk menuliskan belasungkawa di media sosial tanpa benar-benar hadir bagi sesama.
Pesan moral Nabi menegaskan: empati sejati membutuhkan kehadiran, bukan sekadar simbol. Kritiknya, budaya modern sering mereduksi kepedulian menjadi formalitas daring, padahal masalah sosial semakin kompleks: orang sakit tak mampu berobat, anak putus sekolah, hingga keluarga kehilangan nafkah tanpa ada tangan yang menolong.
Refleksinya, jika empati benar-benar dijadikan energi kolektif, krisis sosial ini dapat diredam. Kehadiran nyata bagi sesama adalah jalan memanusiakan manusia, sebagaimana ditunjukkan Rasulullah SAW dalam keseharian beliau.
4. Rendah Hati dalam Kepemimpinan
Nabi SAW adalah pemimpin yang tetap menempatkan dirinya sebagai pelayan umat. Beliau menolehkan seluruh tubuh ketika diajak bicara, sebuah simbol kerendahan hati sekaligus penghormatan kepada lawan bicara. Kepemimpinan beliau berdiri di atas pengabdian, bukan keangkuhan.
Isu hari ini: banyak pemimpin lebih sibuk membangun citra daripada membangun empati. Arogansi, korupsi, dan jarak dengan rakyat menjadi wajah yang sering kita temui. Kritiknya, kepemimpinan tanpa kerendahan hati akan kehilangan legitimasi moral.