Teladan Nabi dalam Kehidupan Modern yang Sarat Distraksi Sosial
"Keteladanan tidak lekang oleh zaman, justru semakin dibutuhkan di tengah rapuhnya nilai."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Mengapa masih banyak orang mencari teladan di tengah krisis moral bangsa? Pertanyaan ini muncul kembali saat momentum  peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun disambut penuh suka cita oleh umat Islam. Namun, di balik semarak perayaan, kita menyaksikan paradoks kehidupan sosial yang kian nyata: pesta meriah di satu sisi, tetangga kelaparan dan anak-anak menderita busung lapar di sisi lain.
Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW hadir bukan sekadar sebagai pemimpin spiritual, melainkan juga panutan sosial yang hidupnya menjadi rujukan peradaban. Ironisnya, di tengah gema selawat dan doa, masih ada keluarga yang harus merelakan anggota tercinta meninggal karena tak mampu berobat, anak-anak putus sekolah akibat keterbatasan biaya, serta kabar bunuh diri karena didera kesulitan hidup. Ditambah lagi, maraknya ujaran kebencian, praktik korupsi, dan hilangnya empati di ruang publik kian menegaskan krisis nilai yang kita hadapi.
Momentum Maulid seharusnya tidak berhenti pada ritual perayaan, melainkan menjadi ruang refleksi kolektif untuk menimbang kembali arah kehidupan sosial kita. Di tengah masyarakat modern yang kian terjebak materialisme dan individualisme, pesan moral Rasulullah SAW justru semakin relevan. Inilah alasan mengapa menggali kembali akhlak beliau menjadi urgensi sekaligus harapan untuk menjawab krisis zaman ini.
1. Kesantunan dalam Pergaulan
Rasulullah SAW selalu mendahului salam, menyapa dengan wajah berseri, dan tidak pernah memotong pembicaraan orang lain. Kesantunan sederhana ini justru menjadi fondasi kokoh bagi hubungan sosial yang sehat. Ironinya, masyarakat kini lebih akrab dengan bahasa sarkas, ujaran kebencian, bahkan olok-olok yang meruntuhkan martabat sesama.
Pesan Nabi jelas: memuliakan orang lain adalah bagian dari memuliakan diri sendiri. Kritik yang lahir dari fenomena hari ini ialah komunikasi publik kita kerap dipenuhi debat kusir yang meniadakan empati. Padahal, kesantunan dalam dialog adalah energi moral yang mampu meredam konflik.
Refleksinya, jika setiap individu menjaga lisan dan menghargai lawan bicara, ruang publik akan lebih sehat. Diskusi akan berubah menjadi jembatan pemahaman, bukan arena pertengkaran. Itulah pelajaran kesantunan Nabi yang amat relevan di era polarisasi sosial ini.