Pemakzulan Dedi Mulyadi, Adakah Jalan Tengah?
"Kebijakan tanpa dialog ibarat panggung tanpa penonton; sepi dan kehilangan makna."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Bagaimana jadinya bila kebijakan pendidikan berbenturan dengan nasib ribuan pekerja pariwisata? Senin, 26 Agustus 2025, Pikiran Rakyat memberitakan perihal pemakzulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang diajukan Forum Pekerja Pariwisata Jawa Barat buntut larangan study tour. Aksi protes di depan Gedung Sate dengan simbol-simbol unik menggambarkan kegelisahan yang tak lagi bisa ditahan.
Isu ini bukan sekadar tarik-menarik kepentingan, melainkan menyentuh dua sektor vital: pendidikan dan pariwisata. Surat edaran Gubernur Jabar Nomor 45/PK.03.03/KESRA memang dimaksudkan untuk reformasi pendidikan, tetapi dampak ekonominya langsung dirasakan ribuan keluarga pekerja wisata. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: adakah ruang kompromi antara niat mulia dan kenyataan lapangan?
Penulis tertarik membahas topik ini karena ia mencerminkan problem klasik dalam tata kelola kebijakan publik: idealisme versus realitas. Ketika sebuah regulasi berimbas pada lapangan kerja, maka urgensinya menjadi semakin nyata. Relevansinya pun terasa saat kita bicara tentang keseimbangan antara visi pembangunan dan keberlangsungan hidup masyarakat.
1. Antara Niat Mulia dan Dampak Nyata
Larangan study tour lahir dari niat untuk melindungi keluarga miskin dari beban biaya tambahan pendidikan. Dedi Mulyadi menilai bahwa program wisata sekolah sering kali menjadi ajang komersialisasi yang memberatkan orang tua. Ia ingin menekan praktik yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.
Namun, dampak kebijakan tersebut justru menghantam sektor pariwisata yang sudah rapuh pasca pandemi. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, dan rantai ekonomi lokal dari transportasi, kuliner, hingga penginapan ikut terguncang. Konsekuensinya, masalah sosial baru bermunculan, yang ironisnya justru mengikis tujuan awal kebijakan.