Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemakzulan Dedi Mulyadi, Adakah Jalan Tengah?

29 Agustus 2025   05:04 Diperbarui: 29 Agustus 2025   05:04 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa P3JB berkostum pocong demo di Gedung Sate, desak Gubernur Dedi Mulyadi cabut larangan study tour. * /Kontibutor PR/Deni Armansyah

Pemakzulan Dedi Mulyadi, Adakah Jalan Tengah?

"Kebijakan tanpa dialog ibarat panggung tanpa penonton; sepi dan kehilangan makna."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Bagaimana jadinya bila kebijakan pendidikan berbenturan dengan nasib ribuan pekerja pariwisata? Senin, 26 Agustus 2025, Pikiran Rakyat memberitakan perihal pemakzulan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang diajukan Forum Pekerja Pariwisata Jawa Barat buntut larangan study tour. Aksi protes di depan Gedung Sate dengan simbol-simbol unik menggambarkan kegelisahan yang tak lagi bisa ditahan.

Isu ini bukan sekadar tarik-menarik kepentingan, melainkan menyentuh dua sektor vital: pendidikan dan pariwisata. Surat edaran Gubernur Jabar Nomor 45/PK.03.03/KESRA memang dimaksudkan untuk reformasi pendidikan, tetapi dampak ekonominya langsung dirasakan ribuan keluarga pekerja wisata. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan: adakah ruang kompromi antara niat mulia dan kenyataan lapangan?

Penulis tertarik membahas topik ini karena ia mencerminkan problem klasik dalam tata kelola kebijakan publik: idealisme versus realitas. Ketika sebuah regulasi berimbas pada lapangan kerja, maka urgensinya menjadi semakin nyata. Relevansinya pun terasa saat kita bicara tentang keseimbangan antara visi pembangunan dan keberlangsungan hidup masyarakat.

1. Antara Niat Mulia dan Dampak Nyata

Larangan study tour lahir dari niat untuk melindungi keluarga miskin dari beban biaya tambahan pendidikan. Dedi Mulyadi menilai bahwa program wisata sekolah sering kali menjadi ajang komersialisasi yang memberatkan orang tua. Ia ingin menekan praktik yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.

Namun, dampak kebijakan tersebut justru menghantam sektor pariwisata yang sudah rapuh pasca pandemi. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, dan rantai ekonomi lokal dari transportasi, kuliner, hingga penginapan ikut terguncang. Konsekuensinya, masalah sosial baru bermunculan, yang ironisnya justru mengikis tujuan awal kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun