Mengulurkan Pengertian, Bukan Menebar Prasangka
"Pengertian menyembuhkan, prasangka memisahkan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
“Pernahkah kita berhenti sejenak sebelum menilai orang lain, dan bertanya apa yang sebenarnya mereka alami? Mengapa begitu mudah bagi kita memberi label, tetapi begitu sulit meluangkan empati? Di tengah derasnya arus informasi digital, masihkah kita punya ruang untuk memahami sebelum menghakimi?” Pertanyaan-pertanyaan ini mengantarkan saya pada satu refleksi penting: memahami lebih membangun daripada menghakimi.
Pada Selasa, 19 Agustus 2025, Kompasiana menayangkan artikel berjudul “Memahami Lebih Baik daripada Menghakimi” karya Agustine Ranterapa. Tulisan itu mengangkat kebiasaan kita menilai orang lain tanpa berusaha memahami konteks di balik perilakunya. Dengan mengutip pemikiran tokoh-tokoh psikologi besar, penulis berhasil menyajikan sudut pandang segar yang mengingatkan kita betapa berharganya memberi ruang pengertian sebelum menghakimi.
Saya pribadi mengapresiasi artikel tersebut karena terasa relevan dengan pengalaman sehari-hari: dari obrolan kantor, perdebatan politik keluarga, hingga komentar netizen di berita daring. Semua itu menunjukkan betapa mudahnya label ditempelkan tanpa pertimbangan. Refleksi Agustine menjadi pengingat penting untuk berhenti sejenak sebelum menilai, sekaligus ajakan agar empati tidak hilang dalam interaksi kita.
Fenomena cancel culture yang kini marak di jagat maya makin menegaskan urgensi refleksi ini. Hanya karena potongan video atau komentar singkat, reputasi seseorang bisa runtuh dalam hitungan jam. Dari sinilah lahir refleksi lanjutan “Mengulurkan Pengertian, Bukan Menebar Prasangka”, sebagai ajakan memperluas ruang empati—baik dalam relasi personal maupun di ruang digital yang kerap kejam.
Empati di Era Digital
Fenomena komentar spontan di media sosial sering kali menggambarkan wajah masyarakat kita yang cepat menilai tanpa konteks. Dari gosip selebritas, kontroversi publik figur, hingga unggahan pribadi seseorang, reaksi publik biasanya berupa vonis kilat. “Pemalas,” “gagal,” “pencitraan”—semua label itu meluncur begitu saja tanpa memeriksa realitas di baliknya.