Fenomena ini memperlihatkan betapa penghakiman digital lebih ganas karena bersifat masif dan abadi. Jejak komentar tertinggal, viralitas meluas, dan stigma melekat. Dalam psikologi sosial, ini dikenal dengan efek bandwagon, di mana satu opini negatif cepat disetujui banyak orang hanya karena ingin ikut arus.
Padahal, di balik setiap unggahan ada manusia dengan cerita hidup yang mungkin tak terlihat. Seorang mahasiswa yang ketiduran di kelas bisa langsung dilabeli malas, padahal ia baru saja pulang dari shift malam di pekerjaannya. Inilah sisi gelap dari prasangka digital—ia menutup ruang pengertian.
Brené Brown, penulis buku Daring Greatly, pernah menulis: “Empathy is the antidote to shame.” Kutipan ini menegaskan bahwa empati adalah jalan paling efektif untuk meredam budaya saling menghakimi.
Psikologi di Balik Prasangka
Mengapa manusia begitu cepat menilai? Salah satu jawabannya ada pada konsep attribution bias. Kita cenderung menyalahkan karakter seseorang atas tindakannya, ketimbang mempertimbangkan situasi yang memaksanya. Seorang teman telat datang rapat, kita langsung menilai ia tidak disiplin. Jarang terpikir, mungkin ada alasan logis di balik itu—kemacetan parah atau kondisi keluarga.
Fenomena ini juga muncul di lingkungan kerja. Karyawan yang pendiam sering dilihat tidak kooperatif, padahal bisa jadi ia sedang bergulat dengan kecemasan. Rekan kerja yang terlalu kritis dianggap toxic, padahal sebenarnya ia terbentuk dari kultur kerja yang menuntut ketelitian tinggi.
Studi psikologi terbaru (Fiske, 2022) menunjukkan bahwa orang yang berlatih perspective taking—yaitu mencoba melihat dari sudut pandang orang lain—cenderung memiliki tingkat konflik interpersonal yang lebih rendah. Artinya, prasangka bisa ditekan jika kita mau berhenti sejenak dan bertanya: “Apa yang sedang ia alami?”
Desmond Tutu, tokoh perdamaian dunia, pernah berkata: “Without forgiveness, there is no future.” Prasangka yang terus dipelihara bukan hanya merusak orang lain, tapi juga membatasi pertumbuhan diri kita sendiri.
Belajar dari Kasus Nyata
Ada kisah seorang ibu yang viral karena dianggap gagal mendidik anaknya yang tantrum di pusat perbelanjaan. Netizen ramai-ramai menghakimi, melabeli sang ibu tidak becus. Namun setelah terungkap bahwa anak itu berada di spektrum autisme, persepsi publik langsung berubah. Inilah bukti bahwa pengertian selalu membuka ruang yang sebelumnya tertutup.
Kisah lain datang dari dunia pendidikan. Seorang mahasiswa kerap terlihat tidur di kelas hingga mendapat reputasi buruk di kalangan dosen. Setelah ditelusuri, ternyata ia bekerja paruh waktu sebagai kurir malam untuk membiayai kuliahnya. Label “malas” yang melekat padanya runtuh seketika saat cerita lengkapnya terbuka.