Publik Bijaklah Atas Kasus RK dan Lisa Mariana
"Kebijaksanaan publik bukan diukur dari ramainya opini, melainkan dari kemampuan menjaga martabat manusia di tengah kontroversi."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada Rabu, 20 Agustus 2025, Pikiran Rakyat merilis berita berjudul “Tes DNA: Ridwan Kamil dan Anak Lisa Mariana Tidak Memiliki Kecocokan.” Hasil tes DNA ini diumumkan langsung oleh Bareskrim Polri, dan menegaskan tidak adanya hubungan biologis antara Ridwan Kamil dengan anak Lisa Mariana. Isu tersebut segera menjadi perbincangan luas, mengingat figur publik yang terlibat serta besarnya perhatian masyarakat terhadap kasus ini.
Urgensi pemberitaan ini terletak pada persoalan etika, hukum, dan martabat pribadi di era media sosial. Publik kini dihadapkan pada fenomena cepatnya penyebaran klaim personal yang kemudian diuji di ranah hukum. Hal ini bukan sekadar kasus pribadi, tetapi menyentuh aspek penting: bagaimana publik mengelola empati, nalar kritis, dan sikap bijak di tengah derasnya informasi.
Penulis tertarik membedah kasus ini karena mencerminkan dinamika relasi publik, hukum, dan media digital di Indonesia. Di satu sisi, ada hak setiap orang untuk mencari kebenaran; di sisi lain, ada kewajiban menjaga kehormatan dan martabat. Relevansi tulisan ini semakin kuat karena publik berperan besar dalam membentuk persepsi, yang pada akhirnya bisa memperberat atau meringankan beban psikologis para pihak.
1. Fakta Hukum dan Kejelasan Proses
Pengumuman Bareskrim Polri menjadi landasan utama untuk mengurai polemik ini secara objektif. Fakta hukum menunjukkan hasil tes DNA menyatakan non-identik antara Ridwan Kamil dan anak Lisa Mariana. Proses ini dilakukan dengan standar resmi, mulai dari pengambilan sampel darah hingga pemeriksaan di laboratorium Pusdokkes Polri. Dengan demikian, publik semestinya menghormati hasil resmi yang sudah teruji secara forensik.
Meski demikian, opini publik sering kali bergerak lebih cepat daripada fakta hukum. Banyak narasi yang beredar di media sosial, sering kali tanpa memeriksa keabsahan sumber. Hal ini memperlihatkan tantangan besar dalam literasi digital masyarakat. Publik perlu belajar membedakan antara opini, asumsi, dan fakta yang diakui secara hukum.