Dua Dekade Perdamaian Aceh: Harapan Lebih Kuat dari Dendam
“Hari ini genap 20 tahun perdamaian Aceh. Ini adalah salah satu waktu yang panjang, yang membosankan, yang menggairahkan, juga yang mengecewakan,” -- Mualem.
Oleh Karnita
Pendahuluan
Suara Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, sempat bergetar ketika mengenang panjangnya jalan damai yang telah ditempuh rakyat Aceh. Wajah-wajah hadirin tampak larut dalam keheningan, seakan ikut merasakan getir sekaligus syukur atas dua dekade perjalanan perdamaian. Sabtu, 16 Agustus 2025, DLHK Aceh menurunkan berita berjudul “2 Dekade Perdamaian Aceh, Gubernur Mualem: Masa Perdamaian Terpanjang di Dunia.”
Suasana di Balai Meuseuraya Aceh tampak syahdu, penuh simbol kebersamaan, ketika ribuan orang memperingati genap 20 tahun perdamaian MoU Helsinki. Pelepasan merpati putih menjadi penanda, bahwa damai bukan hanya perjanjian, melainkan harapan yang terus dipelihara. Momentum ini tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang masa depan Aceh.
Urgensi berita ini sangat terasa, terutama ketika dunia masih diliputi konflik berkepanjangan. Aceh justru menunjukkan bahwa rekonsiliasi bisa bertahan lama, meski butir perjanjian belum sepenuhnya dipenuhi. Relevansinya bagi Indonesia adalah bagaimana damai dijaga tanpa mengorbankan rasa keadilan.
Penulis tertarik pada sisi reflektif dari pidato Gubernur Muzakir Manaf, akrab disapa Mualem. Ia mengingatkan bahwa meski baru 30 persen perjanjian dijalankan, para kombatan memilih bersabar dan tetap berpegang pada damai. Hal ini menjadi pelajaran berharga bahwa damai tak hanya menuntut komitmen pusat, tetapi juga kesabaran daerah.
Perdamaian Terpanjang: Simbol Aceh untuk Dunia
Pernyataan Gubernur Mualem bahwa damai Aceh adalah yang terpanjang di dunia memiliki bobot besar. Dibandingkan dengan konflik lain seperti Pattani di Thailand, Moro di Filipina, atau Kashmir di India, Aceh justru berhasil menjaga stabilitas. Ini membuktikan bahwa perjanjian Helsinki bukan hanya seremonial, tetapi fondasi sejarah.