Sekolah yang Menyentuh Hati, Bukan Sekadar Gedung
"Pendidikan yang abadi adalah yang menguatkan jiwa, bukan hanya membangun ruang belajar."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada Jumat sore, 8 Agustus 2025, Pikiran Rakyat memuat berita “Mengapa Banyak Siswa dan Guru Mundur dari Sekolah Rakyat? Pakar IPB University Beri Penjelasan”. Prof Lala M Kolopaking, pakar sosiologi pedesaan IPB University, menegaskan pendidikan tak cukup dengan niat baik—perlu pendekatan sosial budaya agar program seperti Sekolah Rakyat benar-benar diterima masyarakat.
Fenomena ini relevan di tengah upaya pemerataan pendidikan di daerah terpencil dan miskin. Sekolah Rakyat memang membantu anak dari keluarga rentan, namun mundurnya siswa dan guru menunjukkan masalah adaptasi dan penerimaan lokal. Pendidikan tak hanya soal pengetahuan, tetapi juga membangun rumah baru bagi harapan dan identitas.
Masalah ini menyentuh inti pembangunan sosial: kebijakan baik bisa gagal jika tak berpijak pada realitas masyarakat. Banyak program pendidikan masih top-down, padahal keberhasilan lahir dari kemitraan sejajar antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat.
1. Pendampingan: Bukan Sekadar Fasilitas
Prof Lala menyoroti pentingnya pendampingan adaptasi bagi siswa dan guru. Sekolah berasrama memang berpotensi membentuk karakter, namun tanpa persiapan sosial dan psikologis, justru menimbulkan keterasingan. Anak yang jauh dari kampung halaman kerap mengalami homesick yang melemahkan semangat belajar.
Pendampingan bukan hanya bimbingan akademik, tetapi juga membangun rasa aman dan nyaman. Guru pun memerlukan adaptasi, terutama jika berasal dari luar daerah. Di banyak negara, keberhasilan sekolah berasrama didukung orientation program intensif sebelum siswa resmi masuk.