Gotong Royong, Mahkota yang Tak Tergantikan
"Bila kebersamaan dibeli, maka ia kehilangan jiwa; bila lahir dari hati, ia abadi."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Sabtu pagi, 9 Agustus 2025, udara di Dusun II Desa Kolam, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, dipenuhi riuh suara palu, gesekan gergaji, dan tawa warga. Berita Kompas.com berjudul "Tolak Donatur Meriahkan Hari Kemerdekaan, Gotong Royong Warga Desa Kolam Masih Kuat" memotret pemandangan unik: ornamen burung Garuda, tank, dan kuda megah berdiri di pinggir jalan utama, semua lahir dari tangan warga, tanpa sepeser pun bantuan sponsor. Sikap menolak donasi ini terasa seperti anomali di tengah budaya instan dan pragmatis yang kerap mendominasi perayaan hari besar.
Denny Wijaya, Kepala Dusun, menjelaskan bahwa pilihan ini bukan sekadar keputusan teknis, melainkan komitmen menjaga esensi gotong royong. Penolakan dana luar, meski menggoda, diyakini dapat menjaga kemurnian karya, sekaligus memastikan penilaian lomba 17 Agustusan tetap murni. Dalam konteks saat ini, di mana banyak kegiatan publik disokong sponsor, langkah Desa Kolam mengingatkan bahwa kebersamaan sejati tak memerlukan label atau logo pihak luar.
Penulis merasa tertarik pada kisah ini karena ia menghadirkan pesan sosial yang relevan: mempertahankan nilai luhur di tengah derasnya arus komersialisasi dan individualisme. Perayaan kemerdekaan yang lahir dari swadaya, kerja keras, dan hati tulus warga menjadi contoh bahwa kemerdekaan bukan hanya dirayakan, tetapi juga dihidupi melalui tindakan nyata. Inilah yang membuat kisah ini tak sekadar berita desa, melainkan cermin bagi seluruh bangsa.
1. Menolak Sponsor, Menjaga Kemurnian
Keputusan Desa Kolam untuk menolak donatur bukan sekadar sikap idealis, melainkan strategi melindungi marwah perayaan. Dalam lomba tingkat desa, mereka menyadari bahwa campur tangan sponsor dapat mengaburkan penilaian juri dan mengurangi nilai kebersamaan. Aturan yang mereka pegang ini membuat hasil karya terasa lebih autentik.
Menariknya, keputusan ini diambil di tengah situasi di mana banyak pihak justru bergantung pada bantuan pihak ketiga. Bagi warga Kolam, nilai gotong royong bukan retorika, tetapi prinsip hidup yang harus dipegang teguh. Mereka ingin setiap ornamen dan dekorasi benar-benar lahir dari tangan dan pikiran warga sendiri.