KKN Lumajang Terhenti: Keselamatan Mahasiswa Lebih Utama
“Ilmu bisa dikejar kapan saja, tapi nyawa hanya sekali.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Suasana tenang desa-desa di Lumajang, Jawa Timur, mendadak berubah tegang pada Sabtu, 9 Agustus 2025. DetikNews merilis berita berjudul “Ramai-ramai Kampus Tarik Mahasiswa KKN di Lumajang Buntut Kasus Curanmor” yang mengabarkan penarikan 1.328 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari delapan perguruan tinggi. Keputusan ini diambil setelah empat sepeda motor raib di dua lokasi berbeda, memicu kekhawatiran serius terkait keselamatan peserta KKN.
Bagi dunia pendidikan, KKN adalah jembatan antara teori dan praktik, sekaligus ruang interaksi mahasiswa dengan masyarakat. Namun, situasi mencekam yang terjadi di Lumajang memunculkan pertanyaan besar tentang kesiapan daerah dalam menjamin keamanan mahasiswa. Relevansi isu ini kian terasa mengingat meningkatnya kasus kriminalitas di wilayah pedesaan.
Penulis merasa tertarik mengulas peristiwa ini bukan hanya karena dramanya, tetapi juga pesan yang dikandungnya: keselamatan mahasiswa harus menjadi prioritas tanpa kompromi. Kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi manajemen keamanan KKN di seluruh Indonesia, agar pembelajaran lapangan tidak berubah menjadi ancaman nyata.
1. Keputusan yang Berat, Namun Tak Terelakkan
Penarikan mahasiswa KKN dari Lumajang adalah langkah yang pahit tetapi logis. Dalam situasi di mana empat kendaraan hilang di lokasi yang seharusnya aman, kepercayaan terhadap lingkungan menjadi goyah. Keputusan delapan kampus untuk menghentikan kegiatan lebih awal menunjukkan keberpihakan mutlak pada keselamatan mahasiswa.
Para dosen pembimbing lapangan dan pihak kampus tidak ingin mengambil risiko lebih besar. Jika KKN dilanjutkan, potensi terjadinya insiden lanjutan—bahkan yang mengancam nyawa—bisa meningkat. Dalam konteks ini, sikap tegas kampus justru mencerminkan tanggung jawab moral dan profesional.