Kebersihan Adalah Martabat Jawa Barat yang Harus Dijaga
"Daerah yang kotor kehilangan martabatnya, sama seperti pemimpin yang abai pada tanggung jawab." — Dedi Mulyadi
Oleh Karnita
PendahuluanÂ
Di Pendopo Bupati Cianjur, 9 Agustus 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan akan menghentikan bantuan bagi daerah yang gagal mengelola sampah sesuai standar KLHK. Kebijakan ini jadi peringatan nyata di tengah krisis lingkungan, mengirim pesan bahwa kepemimpinan menuntut teladan dalam menjaga keberlanjutan.
Masalah sampah di Jabar tak sekadar soal kebersihan, tapi juga kesehatan, estetika, dan citra daerah. Pemprov menggabungkan sanksi tegas dan kompetisi positif seperti lomba Gapura Sri Baduga dan Mahkota Binokasih untuk mendorong pengelolaan sampah kreatif dan membentuk mentalitas kolektif.
Indonesia termasuk penghasil sampah plastik terbesar di dunia, sehingga intervensi daerah jadi krusial. Ancaman penghentian bantuan mungkin keras, tapi bisa menjadi model tata kelola lingkungan jika konsisten dijalankan. Langkah tegas ini adalah kunci perubahan, meski berisiko memicu resistensi awal.
Membangun Budaya Kompetisi Positif
Penghentian bantuan bagi daerah yang gagal mengelola sampah jadi langkah tegas Dedi Mulyadi. Kebersihan ia anggap sebagai ukuran kapasitas pemimpin, bukan sekadar estetika. Kebijakan ini memaksa inovasi, dari teknologi sederhana hingga RDF, dengan pesan bahwa dana publik harus sejalan dengan misi lingkungan.
Dengan bahasa reward and punishment, Dedi menggeser paradigma bantuan dari otomatis turun menjadi berbasis kinerja. Penilaian hasil menutup ruang program formalitas dan mendorong kepemimpinan yang aktif menggerakkan masyarakat. Daerah bersih mencerminkan hadirnya kepemimpinan, daerah kotor menandakan lemahnya koordinasi.