Secara hukum internasional, pencaplokan wilayah di bawah pendudukan militer tanpa kesepakatan sah dianggap melanggar Konvensi Jenewa. Kritik dari komunitas internasional pun tak terhindarkan. Inggris, melalui Duta Besar Simon Walters, telah menegaskan penolakannya.
Bagi warga Gaza, sejarah bukanlah sekadar catatan di buku pelajaran. Ia adalah kenyataan yang dihidupi setiap hari---perpindahan paksa, kehilangan keluarga, dan ketidakpastian masa depan.
2. Lima Prinsip Perang: Retorika atau Realitas?
Kabinet Netanyahu menetapkan lima syarat sebelum perang berakhir. Pelucutan senjata Hamas menjadi prioritas. Pengembalian sandera masuk daftar berikutnya. Demiliterisasi Gaza adalah target ketiga.
Keempat, Israel menuntut kontrol keamanan jangka panjang. Kelima, pembentukan pemerintahan sipil tanpa Hamas dan Otoritas Palestina. Syarat-syarat ini terdengar tegas di atas kertas, namun pelaksanaannya rumit di lapangan.
Para pengamat menilai bahwa prinsip ini lebih banyak memuat tuntutan unilateral daripada formula damai. Ketidakhadiran Hamas dan Otoritas Palestina dalam pemerintahan pascaperang menimbulkan pertanyaan: siapa yang akan memimpin Gaza?
Jika syarat-syarat ini dipaksakan tanpa kompromi politik, Gaza akan terjebak dalam lingkaran kekosongan kekuasaan. Situasi ini berisiko memunculkan kelompok-kelompok baru yang lebih radikal.
3. Sandera, Diplomasi, dan Ancaman Balasan
Hamas mengancam akan mengeksekusi sandera jika pasukan Israel mendekat. Enam sandera tewas pada Agustus 2025. Situasi ini membuat negosiasi semakin rapuh.
Bagi Israel, pembebasan sandera adalah prioritas. Namun, strategi militer yang agresif justru memperbesar risiko keselamatan mereka. Keluarga sandera pun melakukan protes di Yerusalem.
Diplomasi menjadi opsi yang disarankan banyak pihak. Inggris menilai kemenangan atas Hamas tidak bisa diraih semata-mata dengan kekuatan militer. Politik dan diplomasi harus berjalan beriringan.