Menjaga Pangan di Tengah Ancaman: Suara Petani Indramayu yang Perlu Didengar
"Krisis di sawah bukan hanya soal air dan hama, tapi cermin bagaimana kita memperlakukan tanah, petani, dan masa depan pangan bersama."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi yang tenang di Indramayu, Kamis, 7 Agustus 2025, berubah menjadi muram. Hamparan sawah yang seharusnya hijau subur tampak kering dan gersang. Di sejumlah titik, jejak tikus terlihat jelas, menyisakan lubang-lubang kecil di antara batang padi yang layu.
Laporan Pikiran Rakyat berjudul "Petani Indramayu Menjerit, Ribuan Hektare Sawah Diserang Tikus dan Kekeringan" yang ditulis oleh Agung Nugroho dan disunting Eri Mulyani, memotret realitas lapangan dengan sangat kuat. Penulis mengapresiasi keberanian jurnalistik ini, karena menyuarakan kondisi petani yang kerap tersembunyi dari perhatian arus utama.
Ketertarikan terhadap isu ini bukan hanya karena nilainya sebagai berita, tapi karena urgensinya sebagai peringatan terhadap sistem pangan nasional. Serangan hama dan kekeringan bukan sekadar fenomena musiman, tetapi gejala dari sistem yang perlu dibenahi bersama.
1. Hulu dan Hilir: Dua Titik Krisis dalam Satu Peta
Permasalahan yang dialami petani Indramayu menyangkut dua titik penting dalam rantai produksi pangan: hulu dan hilir. Di wilayah hulu, serangan hama tikus berlangsung hampir merata. Sementara itu, wilayah hilir menghadapi kekeringan akibat terbatasnya pasokan air irigasi.
Daerah seperti Tukdana, Kertasemaya, dan Bangodua menjadi lokasi terdampak serangan hama. Tikus-tikus tersebut merusak batang dan akar padi, menyebabkan hasil panen menurun drastis. Para petani melakukan berbagai upaya, namun dampaknya masih sangat terbatas.