Ekonomi Tumbuh 5,12%, Tapi Siapa yang Merasakannya?Â
Oleh Karnita
Pendahuluan
Di layar ponsel dan televisi, grafik pertumbuhan ekonomi tampak menanjak. Warna-warna hijau dan angka 5,12 persen seolah menjadi kabar baik. Pada Selasa, 6 Agustus 2025, Kompas.com memuat artikel berjudul "Media Asing Soroti Anomali Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen" karya Suparjo Ramalan dan Aprillia Ika.
Artikel tersebut menarik karena menyajikan pandangan internasional terhadap capaian ekonomi Indonesia. Disorot oleh media seperti CNBC dan Reuters, capaian tersebut dikatakan mengejutkan karena melampaui ekspektasi pasar. Penulis mengapresiasi laporan ini karena berhasil menyandingkan optimisme makro dengan keraguan mikro secara berimbang.
Namun, dalam konteks sosial-ekonomi hari ini, pertumbuhan angka tidak otomatis mencerminkan perbaikan hidup masyarakat. Daya beli tetap tertekan. Pengangguran terselubung masih tinggi. Maka, artikel ini penting dibedah secara lebih reflektif, bukan sekadar dirayakan dengan gegap gempita statistik.
1. Mencermati Capaian: Positif tapi Belum Konkret
Media internasional memang menyoroti angka 5,12 persen sebagai keberhasilan. CNBC menyebutnya capaian tertinggi sejak 2023. Reuters menyatakan itu melebihi ekspektasi jajak pendapat mereka. Di atas kertas, ini adalah kabar baik.
Namun, kita perlu cermat membaca angka. Pencapaian yang melampaui ekspektasi bisa saja semu bila tidak disertai perbaikan struktural. Pertumbuhan bisa terjadi karena efek low base atau ekspansi musiman belaka. Maka, indikator pendukung lainnya perlu diperiksa lebih dalam.
Data konsumsi rumah tangga memang menyumbang 2,64 poin persentase terhadap PDB. Tetapi, PMI manufaktur tetap di bawah 50---itu artinya industri masih kontraksi. Jika jantung produksi lesu, angka pertumbuhan mungkin hanya menandai pemulihan semu, bukan fondasi kokoh.