2. Imajinasi Anak Desa: Dari Naura hingga Samsul
Naura ingin jadi konten kreator. Fahmi bermimpi jadi atlet voli profesional. Impian mereka sederhana, tapi sangat nyata. Tidak ada sinisme atau keraguan—hanya keyakinan polos dan semangat belajar.
Ketika mereka memberi nama roket buatannya—Samsul, Susanto, Ucup, Jaenudin—kita melihat cermin dunia anak. Nama-nama itu mungkin terdengar lucu, tapi bagi mereka, itulah tokoh-tokoh fiksi yang mengantar harapan. Imajinasi, dalam dunia anak-anak, tidak butuh logika.
Dalam tawa mereka, terselip harapan tentang masa depan. Harapan itu tidak dibentuk oleh kurikulum, tetapi oleh interaksi, eksperimen, dan keberanian mencoba. Di sinilah pentingnya pendidikan yang memerdekakan: memberi ruang untuk mencoba dan gagal.
Artikel ini menyentuh karena memuliakan hal-hal kecil yang sering diabaikan. Imajinasi anak-anak adalah aset bangsa yang tak boleh dibiarkan padam hanya karena letak geografis.
3. Literasi sebagai Akses, Bukan Sekadar Program
Naura adalah juara kelas, tapi tidak punya buku cerita. Fahmi suka membaca, tapi tidak ada bacaan selain buku pelajaran. Ironi ini bukan kasus tunggal. Ini potret banyak anak Indonesia yang semangat belajarnya melebihi akses yang tersedia.
Jagat Literasi hadir bukan hanya memberi pelatihan, tapi juga membawa buku. Buku-buku itu menjadi semacam "oksigen" bagi ruang kelas yang nyaris hampa imajinasi. Dongeng Telaga Biru yang dibacakan pun menjadi pengalaman baru bagi mereka—dongeng pertama yang benar-benar membuat mereka terdiam.
Literasi harus dimaknai sebagai akses yang merata. Bukan sekadar program simbolik atau agenda institusional. Apa artinya literasi jika buku-buku terbaik hanya berputar di kota?
Pemerataan literasi bukan hanya soal distribusi buku. Ini soal hadirnya manusia-manusia yang peduli, seperti relawan-relawan ekspedisi Kata ke Nyata. Literasi tidak hanya tumbuh dari teks, tapi dari teladan dan interaksi.