Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Sekadar Balon, Tapi Mimpi yang Mengudara

6 Agustus 2025   19:47 Diperbarui: 6 Agustus 2025   19:49 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Imajinasi Anak Desa: Dari Naura hingga Samsul

Anak-anak kelas 4 dan 5 SDN Pangkalan 1, Sobang, Pandeglang ikuti kelas Jagat Literasi Kompas.com, (6/8/2025).(KOMPAS.COM/ACEP N.)
Anak-anak kelas 4 dan 5 SDN Pangkalan 1, Sobang, Pandeglang ikuti kelas Jagat Literasi Kompas.com, (6/8/2025).(KOMPAS.COM/ACEP N.)

Naura ingin jadi konten kreator. Fahmi bermimpi jadi atlet voli profesional. Impian mereka sederhana, tapi sangat nyata. Tidak ada sinisme atau keraguan—hanya keyakinan polos dan semangat belajar.

Ketika mereka memberi nama roket buatannya—Samsul, Susanto, Ucup, Jaenudin—kita melihat cermin dunia anak. Nama-nama itu mungkin terdengar lucu, tapi bagi mereka, itulah tokoh-tokoh fiksi yang mengantar harapan. Imajinasi, dalam dunia anak-anak, tidak butuh logika.

Dalam tawa mereka, terselip harapan tentang masa depan. Harapan itu tidak dibentuk oleh kurikulum, tetapi oleh interaksi, eksperimen, dan keberanian mencoba. Di sinilah pentingnya pendidikan yang memerdekakan: memberi ruang untuk mencoba dan gagal.

Artikel ini menyentuh karena memuliakan hal-hal kecil yang sering diabaikan. Imajinasi anak-anak adalah aset bangsa yang tak boleh dibiarkan padam hanya karena letak geografis.

3. Literasi sebagai Akses, Bukan Sekadar Program

Naura adalah juara kelas, tapi tidak punya buku cerita. Fahmi suka membaca, tapi tidak ada bacaan selain buku pelajaran. Ironi ini bukan kasus tunggal. Ini potret banyak anak Indonesia yang semangat belajarnya melebihi akses yang tersedia.

Jagat Literasi hadir bukan hanya memberi pelatihan, tapi juga membawa buku. Buku-buku itu menjadi semacam "oksigen" bagi ruang kelas yang nyaris hampa imajinasi. Dongeng Telaga Biru yang dibacakan pun menjadi pengalaman baru bagi mereka—dongeng pertama yang benar-benar membuat mereka terdiam.

Literasi harus dimaknai sebagai akses yang merata. Bukan sekadar program simbolik atau agenda institusional. Apa artinya literasi jika buku-buku terbaik hanya berputar di kota?

Pemerataan literasi bukan hanya soal distribusi buku. Ini soal hadirnya manusia-manusia yang peduli, seperti relawan-relawan ekspedisi Kata ke Nyata. Literasi tidak hanya tumbuh dari teks, tapi dari teladan dan interaksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun