Demonstrasi besar di ibu kota Eropa dan Australia mencerminkan kebangkitan kesadaran publik. Mereka tidak hanya menentang perang, tapi juga sistem politik yang memfasilitasinya. Gerakan ini menjadi cermin bahwa tekanan rakyat dapat menembus kebuntuan diplomatik.
Namun, kebungkaman pemerintah masih mendominasi. Artikel ini menekankan bahwa kebisuan ini menyamakan diri dengan keterlibatan aktif. Refleksi ini sangat penting agar publik tidak terjebak dalam netralitas palsu yang membiarkan kekerasan terus berlangsung.
5. Penderitaan Sipil: Bahasa Tubuh Tawanan dan Anak Gaza
Bagian paling menyentuh dari artikel ini adalah narasi tentang video tayangan tawanan Israel dan anak-anak Gaza. Tubuh kurus, tatapan kosong, dan penderitaan yang disiarkan menggambarkan realitas yang tak dapat disangkal. Derita sipil ditampilkan dalam bahasa visual yang tidak bisa dibungkam.
Dalam video yang ditayangkan Al-Qassam, terlihat jelas bahwa penderitaan para tawanan dan warga sipil adalah sama. Mereka sama-sama menderita di bawah blokade, kelaparan, dan penindasan. Adegan ini menggambarkan bagaimana peperangan tidak mengenal belas kasihan.
Pesan "Mereka makan apa yang kami makan" menjadi tamparan bagi narasi kemanusiaan versi pemerintah Israel. Realitas ini menggugah siapa saja yang masih memiliki empati. Refleksi ini memperlihatkan bahwa tragedi Gaza bukan hanya soal politik, tapi luka kemanusiaan yang sangat dalam.
Penutup
Perang di Gaza bukan lagi soal membela diri atau mencapai tujuan strategis. Ia telah menjadi alat kekuasaan yang memperbudak nurani dan membunuh empati. Ketika dunia menutup mata, suara kebenaran menjadi sangat berharga.
"Jika kekuasaan menjadi alasan untuk menolak damai, maka dunia telah kehilangan arah dalam membaca arti kemanusiaan."
Penting bagi kita, sebagai bagian dari masyarakat global, untuk tidak tinggal diam. Karena diam adalah bentuk pengkhianatan terhadap rasa keadilan itu sendiri. Wallahu a’lam.
Â
Disclaimer: