2. Keselamatan Transportasi: Antara Komitmen dan Realitas
PT KAI dalam pernyataannya menyampaikan permintaan maaf dan janji peningkatan layanan. Namun, permintaan maaf tak akan cukup jika tak disertai transparansi penyebab teknis dan audit keselamatan lintas utara yang terganggu. Ketika rel bergeser, publik berhak tahu apakah faktor cuaca, usia rel, human error, atau sistem kontrol menjadi penyebab utama.
Masalahnya bukan insiden tunggal ini, tetapi akumulasi peristiwa sejenis yang kerap luput dari reformasi mendalam. Insiden di Cirebon 2023 dan Brebes 2024, misalnya, menunjukkan pola berulang: anjlok di lintas utama, gangguan besar, lalu reda tanpa perubahan struktural yang terlihat.
Inilah saatnya membangun narasi keselamatan sebagai nilai utama, bukan sekadar formalitas prosedural. Penumpang bukan hanya pengguna jasa, tetapi warga negara yang menuntut hak atas rasa aman saat berpindah tempat.
3. Infrastruktur Besar, Mentalitas Darurat yang Kecil?
Salah satu sisi menyedihkan dari insiden ini adalah betapa terbatasnya narasi media mengenai kesiapsiagaan petugas. Tidak dijelaskan apakah ada tim medis darurat yang disiagakan, atau posko trauma bagi penumpang yang mengalami tekanan psikologis.
Hal ini memperkuat dugaan bahwa kita membangun infrastruktur besar tanpa membentuk budaya keselamatan yang setara. Mentalitas darurat kita masih reaktif, bukan antisipatif. Padahal, dalam sistem transportasi modern, keselamatan tidak hanya dibuktikan oleh tidak adanya korban, tetapi kesiapan merespons hal tak terduga secara sistemik dan manusiawi.
Refleksi ini mendesak kita bertanya: sudahkah SOP tanggap darurat dilatih secara periodik dan realistis? Ataukah masih sebatas dokumen di laci stasiun dan pelatihan formalitas semata?
4. Komunikasi Krisis: Transparan atau Terlambat?
Salah satu kelemahan krusial dalam insiden ini ialah minimnya kejelasan informasi dari pihak berwenang, bahkan beberapa jam setelah kejadian. Informasi hanya disampaikan lewat humas regional, dengan fokus pada permohonan maaf dan penyediaan bus pengganti. Tidak ada konferensi pers besar, tidak ada update real-time lintas kanal, seolah insiden ini bukan sesuatu yang harus jadi perhatian nasional.
Padahal, komunikasi krisis dalam sektor publik memiliki standar tinggi. Ketika ratusan penumpang terjebak dan ribuan lainnya terkena dampak keterlambatan, publik berhak atas kejelasan, empati, dan rencana tindak lanjut. Ketertutupan hanya memperpanjang spekulasi dan mengikis kepercayaan publik.