Dari RSUD Sentot ke Sentra Ekonomi: Ketika Pelayanan Publik Tak Lagi Soal Kepemilikan
"Ketika rumah sakit hanya menjadi beban APBD, sudah saatnya kita bertanya: siapa yang seharusnya mengelola demi publik?"
Oleh Karnita
Pendahuluan: RSUD Sentot dalam Sorotan
Di tengah upaya meningkatkan akses dan mutu layanan kesehatan, RSUD Sentot justru menjadi cermin stagnasi layanan publik. Terletak di Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, rumah sakit ini berstatus BLUD—struktur yang semestinya fleksibel dalam pengelolaan keuangan. Namun realitas di lapangan menyuguhkan ironi: hutang menumpuk, top-up dari APBD rutin, dan pelayanan minim pujian.
Bupati Lucky Hakim tak menutupi kekecewaannya. Ia terang-terangan menyebut RSUD Sentot tidak pernah menyumbang pendapatan daerah, bahkan menjadi beban fiskal. “Kalau pelayanannya optimal, masyarakat puas, itu tidak masalah,” ujarnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—investasi publik tanpa imbal hasil yang nyata.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kualitas pelayanan publik tak cukup diukur dari keberadaan fasilitas semata, tetapi dari kinerja nyata. Dalam konteks ini, otonomi daerah diuji: apakah daerah mampu mengelola layanan dasar dengan efisien, atau justru terjebak dalam birokrasi stagnan?
Ketika Provinsi Menawarkan Solusi
Dalam situasi stagnan inilah, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi masuk dengan tawaran strategis: mengambil alih pengelolaan RSUD Sentot ke tingkat provinsi. Bagi sebagian kepala daerah, tawaran seperti ini bisa dimaknai sebagai kehilangan aset atau simbol kedaulatan daerah. Namun Lucky memilih jalan rasional: menyambutnya dengan tangan terbuka.
Alasannya sederhana tapi berdimensi strategis: pelayanan optimal, dampak ekonomi meningkat. Di bawah Pemprov, RSUD Sentot berpotensi bertransformasi menjadi rumah sakit besar seperti RS Hasan Sadikin di Bandung—dengan alat medis canggih, dokter spesialis lengkap, dan daya jangkau regional.