“Syukran Terakhir Amir” – 12 Kilometer, Remah Roti, dan Peluru di Dada Nurani
“Kemanusiaan sekarat bukan karena kurangnya simpati, tapi karena terlalu banyak peluru yang dibenarkan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Senja Gaza tak lagi sekadar jingga, melainkan merah darah yang jatuh berserakan di pusat bantuan. Pada 27 Juli 2025, seperti dilaporkan Republika.co.id, militer Israel membuka jeda tempur 10 jam untuk memberi jalan masuk bantuan kemanusiaan. Namun, dua hari setelahnya, seorang pensiunan tentara AS bernama Anthony Aguilar mengungkapkan kisah memilukan tentang Amir—bocah Palestina lima tahun yang menempuh 12 kilometer demi sekarung kecil beras rusak. Setelah mengucapkan “Syukran” sambil mencium tangan pemberi bantuan, ia ditembak mati.
Kisah ini begitu mengguncang karena bukan hanya menyingkap penderitaan ekstrem, tapi juga membongkar ironi besar dari bantuan kemanusiaan yang berubah menjadi ladang maut. Penulis terpanggil untuk membedah sisi yang sering luput dari jangkauan publik: bagaimana sistem distribusi bantuan dapat gagal melindungi, bahkan memperparah luka yang sudah menganga.
Apa yang dialami Amir bukanlah insiden tunggal. Tragedi ini adalah simbol kegagalan kolektif global: ketika anak-anak dibunuh saat kelaparan, ketika jeda kemanusiaan dipenuhi peluru, dan ketika dunia menutup mata pada penderitaan yang berlangsung saban hari. Amir menatap mata dunia, lalu jatuh dalam diam yang tak seorang pun layak alami.
1. Jeda Kemanusiaan atau Waktu Pembantaian?
Pada 27 Juli 2025, Israel mengumumkan “jeda aktivitas militer taktis lokal” selama 10 jam untuk wilayah Gaza, Deir al-Balah, dan Muwasi. Namun, seperti dibeberkan oleh Aguilar dalam wawancaranya di platform UnXeptable, pembantaian justru terjadi dalam jam-jam jeda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tentara menembaki kerumunan pengungsi yang mengantre bantuan.
Amir datang, berjalan kaki sejauh 12 kilometer, dalam kondisi lapar, tanpa alas kaki, dan tubuh kurus yang dibalut pakaian melorot. Ia menerima sedikit lentil dan beras rusak. Namun sesudahnya, ia ditembak—bukan karena mengancam, tetapi karena hadir. Tak ada senjata di tangannya, hanya harapan kecil dan ucapan terima kasih yang lirih.