Keenam keterampilan ini bersifat universal dan dapat diterapkan di berbagai sektor kehidupan: dunia kerja, organisasi, hingga relasi sosial. Pesan Abdul Mu'ti ini sekaligus menjadi kritik halus terhadap sistem pendidikan yang selama ini terlalu teknokratis dan kaku. Ia mengajak para pendidik untuk lebih memfokuskan proses belajar pada pembentukan pribadi yang adaptif, solutif, dan berintegritas.
2. Tantangan Implementasi: Keterbatasan di Tengah Harapan
Mendikdasmen mengakui bahwa tidak semua hal bisa diajarkan secara langsung di sekolah. Keterbatasan waktu, dana, dan sumber daya sering menjadi penghalang utama dalam integrasi soft skills secara utuh ke dalam kurikulum. Bahkan dalam praktiknya, guru pun sering terbebani oleh tuntutan administratif dibanding menjadi fasilitator pembelajaran karakter.
Namun justru di sinilah letak tantangan pendidikan masa kini: bagaimana membangun kultur belajar yang mendukung pengembangan soft skills tanpa membebani sekolah? Abdul Mu'ti menekankan pentingnya kemauan belajar sebagai jembatan. Dalam situasi terbatas, motivasi dan semangat belajar menjadi modal utama untuk tumbuh.
Kritiknya tegas namun konstruktif: pendidikan bukan hanya soal kurikulum, melainkan juga soal ekosistem. Ketika budaya sekolah tidak mendorong dialog, kerja sama, dan refleksi, maka soft skills hanya akan menjadi slogan. Maka, dibutuhkan reformasi kultural dalam manajemen sekolah dan pelatihan guru agar kompetensi ini bisa tumbuh secara alami dan berkelanjutan.
3. Tujuh Kebiasaan Anak Hebat: Pendidikan yang Membumi
Dalam forum Sapa Murid SMK, Abdul Mu'ti memperkenalkan tujuh kebiasaan anak hebat: bangun pagi, rutin ibadah, rajin olahraga, makan sehat dan bergizi, tekun belajar, peduli lingkungan sosial, serta menjaga pola tidur. Kebiasaan ini, meski sederhana, dirancang untuk menanamkan disiplin, empati, dan tanggung jawab dalam kehidupan pelajar sehari-hari.
Kebiasaan ini mencerminkan pendidikan yang membumi---tidak muluk-muluk, tapi relevan dan aplikatif. Ia menekankan bahwa pendidikan karakter tidak selalu hadir dalam bentuk mata pelajaran, melainkan dalam praktik hidup harian. Sekolah bisa menjadi ruang untuk membiasakan perilaku positif jika nilai-nilai itu juga diteladankan oleh guru dan lingkungan sekolah.
Pesan tersiratnya kuat: pendidikan harus kembali ke esensi---membentuk manusia utuh. Pendidikan yang terlalu fokus pada aspek kognitif tanpa mendidik hati dan tubuh akan melahirkan generasi cerdas namun lelah, unggul namun tidak berdaya. Maka, mengintegrasikan tujuh kebiasaan ini bukan sekadar agenda tambahan, tapi bagian dari pendidikan yang menyeluruh.
4. Soft Skills dan Dunia Kerja: Relevansi yang Mendesak
Abdul Mu'ti menyoroti bahwa dunia kerja saat ini lebih mencari karakter dan keterampilan interpersonal dibanding semata kemampuan teknis. Kreativitas dan leadership menjadi kompetensi yang sangat dicari. Mereka yang mampu menciptakan solusi dan menginspirasi tim akan lebih mudah berkembang dalam karier.